Jumat, 10 Desember 2010

BALADA HIJAU: SUARA dan PESAN RINDU PADA ALAM


Bumi Sangkuriang Country and Ballad Community bersama Hotspot Art Production bekerjasama dengan Bumi Sangkuriang dan Melinda Hospital, kembali menggelar pagelaran rutinnya pada Rabu malam lalu (8/11). Konser yang bertajuk Balada Hijau ini menjadi persembahan ketiga dari Bumi Sangkuriang Country and Ballad Community setelah sebelumnya menggelar Balada untuk Wawan Juanda serta Balada untuk Bencana pada bulan Oktober dan November lalu.
Menampilkan karya-karya yang bertemakan tentang alam dari sejumlah musisi balada  seperti Ully Hary Rusady bersama Kelompok Nyanyian Alam, Mukti Mukti,  Ganjar Noor, Sorasada, Sunek serta Ary Juliyant. Konser Balada Hijau yang berlangsung dari pukul 20.30-24.00 WIB dan dipandu 4 Perempuan ini, digelar untuk menyampaikan pesan tentang keresahan akan alam yang sudah rusak dan ajakan untuk menata dan menjaganya kembali.

Lagu Carita dari album Angin Selatan milik Mukti Mukti, menjadi pembuka  hangat pada pagelaran Balada Hijau malam itu. Sebuah lagu yang menceritakan tentang meletusnya  gunung Krakatau pada tahun 1883. Lagu lainnya yang dibawakan oleh Mukti Mukti adalah Do’a untuk Indonesia yang pada malam itu pertama kalinya dibawakan lewat kolaborasi bersama Ary Juliyant.
Kerinduan akan keharmonisan alam, itulah yang menjadi benang merah di konser kali ini. Bertajuk Balada Hijau karena memang warna hijau dikenal sebagai simbol dari keharmonisan alam itu sendiri” tegas Egi Fedly selaku koordinator acara sekaligus koordinator Bumi Sangkuriang Country and Ballad Community.

Disinggung mengenai Konser Balada Hijau, Mukti Mukti juga menambahkan jika maksud  acara ini bukan hanya sebagai wadah silaturahmi dan apresiasi karya dari para musisi balada, tapi juga mengingatkan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Tidak hanya itu, lebih jauh Mukti mengungkapkan Konser Balada Hijau adalah sebagai wujud untuk mengawal masyarakat-masyarakat yang berkegiatan dan mempunyai kesadaran untuk menjaga serta peduli terhadap lingkungannya.

Alam itu harus seimbang, dan keseimbangan alam sebenarnya bergantung pada moral manusia bagaimana dia memperlakukan alam dan dirinya sendiri” ujar Mukti Mukti.

Ganjar Noor kemudian mengungkapkan penegasan cintanya terhadap alam lewat lagu Cinta Bagiku. Pada lagunya, cinta bagi Ganjar bukan hanya tentang cinta terhadap manusia saja, tapi juga kecintaan terhadap alam.

Sorasada yang kemudian mencoba tampil menjadi kelompok yang  menghadirkan estetika musik etnik dan modern  dengan perpaduan lirik sunda yang syarat makna. Diantaranya lagu Pasundan Kiwari yang menceritakan keadaan tanah pasundan yang kini juga mulai rusak, serta lagu Pikukuh Darma Siksa yang menceritakan perlunya setiap orang berprilaku baik agar mendapatkan kondisi dunia atau alam yang juga baik.
Dengan sentuhan warna musik country ballad,  Sunek yang juga berkolaborasi dengan Ary Juliyant tampil menyampaikan beberapa pesan beragam lewat beberapa karyanya. Pegunungan Utara menceritakan pentingnya menjaga kelestarian pegunungan utara yang menjadi pundi-pundi hawa kota Bandung.  Lagu Ingatlah yang mengungkapkan keprihatinan terhadap berbagai bencana  alam yang pernah terjadi di Indonesia, serta Tingali Tah, lagu milik Ary Juliyat, yang menyampaikan teguran dan ajakan kepada pihak-pihak lembaga yang mengurus kelestarian alam.
Penampilan Ully Hary Rusady bersama Kelompok Nyanyian Alam yang begitu dinanti-nanti semakin menjadi alasan kuat untuk menghiraukan hujan malam itu. Beberapa lagu tentang alam seperti Hutan Rumah Kita, Mahabarata, Balada Anak Nelayan dan Padamu yang Jauh Disana disajikan  dengan karakter vocal dan lirik khas Ully Rusady yang dibalut dengan sentuhan warna musik balada etnik dari Kelompok Nyanyian Alam benar-benar dinikmati semua audience yang hadir malam itu.
Bagi Ully Rusadi dan Kelompok Nyanyian Alam, kesempatannya turut tampil di pagelaran Balada Hijau adalah pelampiasan rasa rindu setelah cukup lama waktunya dihabiskan dengan kesibukan sebagai aktivis lingkungan hidup dan koordinator posko relawan Merah Putih.
Jujur, saya senang sekali bisa tampil dan berkumpul lagi seperti malam ini. Bisa dibilang acara ini menjadi pelampiasan rindu saya setelah beberapa waktu ini saya difokuskan dengan kegiatan-kegiatan untuk pelestarian alam dan penanggulangan korban bencana” ujar Ully disela-sela penampilannya.
Bukan hanya pesan-pesan yang disampaikan lewat karya-karyanya saja, malam itu juga Ully mengajak semua yang hadir untuk menyisihkan dana bagi para korban bencana alam. Pengumpulan dana dilakukan lewat kencleng yang disebar dan pelelangan lukisan berjudul Rindu karya E.S Edos. Jumlah dana yang terkumpul adalah sebesar 1.686.000 rupiah dan langsung disalurkan melalui posko Merah Putih.
Sebuah penampilan istimewa juga dihadirkan lewat kolaborasi pertama antara Ully Rusady, Ary Juliyant, Mukti Mukti dan Egi Fedly.  Lagu Hutan Rumah Kita milik Ully Rusady menjadi pembuka kolaborasi mereka, setelahnya dibawakan juga lagu Sangara (Hutan Kita Telah Habis ) milik Mukti Mukti, serta lagu Survival dari Ary Juliyant. Sementara lagu Musim Tanam yang pernah mengantarkan Ully bersama Kelompok Nyanyian Alam mendapatkan perhargaan di ajang World Oriental Music Festival (WOMF)di Sarajevo pada September 2005 lalu, menjadi penutup kolaborasi acara dan konser malam itu.(wai)

Photo : Esti Siti Amanah Gandana, Galeri Maya

Kamis, 09 Desember 2010

WORKSHOP LAGU TENTANG SUNGAI (hari musik balada 27-28 november di sungai cidurian bandung)

by MuktiMukti MimesisSoul on Tuesday, 07 December 2010 at 10:53
Mengembalikan kembali kesadaran peran musisi balada untuk kembali hidup dan mengakar di masyarakat maka seyogianya banyak merespon kerja-kerja pengabdian masyarakat, paling tidak begitu. Sungai Cidurian nampak jelas mengalir melintas kota Bandung yang tak nyaman lagi dengan sampah plastik di aliran sungai tersebut. Hanya dua hari saja kita mengenal cerita sungai cidurian, Itu pun masih terlalu banyak yang kurang rasanya. Sebab, kita hanya mengenal sebagian kecil di kelompok masyarakat yang dengan sadar membangun kawasan bersih mengelola sampah dan upaya masyarakat membersihkan sungai dari sampah peradaban manusia. Paling tidak itu awal dari perkenalan yang sebentar dengan masyarakat, semoga masih terus berlanjut. semoga selalu tetap menjaga sungai dari sampah.

Lima Lagu Tercipta

Egi Fedly/Cai Bajigur Cidurian, mencatat pada syairnya jangan meminum air sungai sebab bukan bajigur dan mengajak membersihkan sungai dalam bahasa sunda. Masyarakat sungai cidurian terkenal dengan minuman bajigur dan kenapa memakai bahasa sunda syairnya? Egi bilang, kan ada kelompok calung dan reog ibu biar lagu itu dipakai buat latihan mereka. Dan tentu saja biar masyarakat musiknya dapat membuat lagu tentang sungai juga.

Caina siga bajigur
Caina siga bajigur
Bajigur, tapi omat ulah diinum
Da eta mah cai Cidurian, anu anyar kahujanan
Da eta mah cai Cidurian, anu anyar kahujanan

Hayu urang bersihan Cidurian
Ngarah caina herang, teu siga bajigur

Deugalih/Panchali, dalam lagunya lebih menghidmati air sungai yang menghidupkan bumi, yang menyejukkan dengan tawan dan rindu. Walau terasa ada tautan elaborasi vokal dalam nyanyiannya, namun itu sebagai kesalahan edit, namun tetap saja enak didengar, seperti air yang mengalir membuat rindu.

Panchali, kami dating
Kini sungai sudah berpelangi
Panchali, jangan menangis
Padi laksmi direstui

Reff:
Tanah hijau yang sejuk, dan rindumu
Tanah hijau yang sejuk, dan tawamu
Kau hidupkan aku, bumi
Kau hidupkan hidup

Panchali, damailah tenang
Gangga beri berkah, tiada pamrih
Pachali, kita berjalan
Berkah shiva merestui

Rizal Abdulhadi/Tak Mau Sungainya Kotor, katanya itu lagu layaknya lagu kober yang mengajak masyarakat untuk tetap membersihkan sungai. Lagu yang pasti akan mengingatkan masyarakat pada kesengsaraan banjir. Ajakan untuk tidak membuang sampah sembarangan.

Siapa yang Mau sungainya kotor?
Tidak, tidak, tidak..
Siapa yang mau sampah berserakan?
Tidak, tidak, tidak..

Reff:
Karna kita tak mau banjir melanda
Rumah, rumah, rumah kita
Karna kita tak mau banjir melanda
Derita dan sengsara

Deni Ing/Sungai, berkawan dengan membersihkan sungai adalah catatan lagu ajakan pada anak-anak muda untuk membuka mata dan hati. Lagu yang digarap sederhana, dan lebih komunikatif sama hal nya dengan lagu Egi Fedly dan Rizal.

Kita sering berkata
Kita punya harapan
Kita sudah membuka mata
Kita akan membuka hai, kawan muda

Banyak kejayaan di desa
Kekuatan anak-anak muda
Kegelisahan hari depan
Akar-akar nusantara

Saya mulai
Kau pun kawan

Kta tumbuhkan akar rumah kita
Menari mengalir bersama bersama   sungai nusantara
Kita berkawan dengan membersihkan
Hingga surya tak lagi mampu tenggelam di nusantara

Mukti-Mukti/Sungai Ciidurian, semoga berkenan bila rasa kangen berbaur di pinggir sungai sambil makan kasreng, minum kopi, nyanyi-nyanyi dan mendengarkan curah hati masyarakat dan pamadegannya membangun padepokan kreativitas masyarakat bantaran sungai.

Sungai yang bernyanyi
Sepanjang waktu
Adalah rindu  yang memeluk rindu
Sungai di hatimu
Membasuh jiwa
Yang tak pernah mati
Sungai di hatimu, sungai dihatiku
Sungai di hatimu

Kemudian kita merekam dan memberikan cda lagu-lagu tentang sungai pada masyarakat dan para tokohnya. Dan lebih cepat bergegas untuk segera pulang, pamit lebih awal agar masih ada polesan rindu diantara sungai yang masih terus mengalir. Telpon kami lebih dulu pak bila terjadi banjir luapan akibat sampah peradaban kota yah yah yah. Pak RT Odang sangat senang dengan lagu Egi, raut wajahnya begitu takjub dengan karya lagu, ini gimana buatnya yah....padahal, buatnya dengan tidur panjang, bangun atau terbangun dan buat lagu dengan penuh tekanan batin (kata ganjar noor)

Sepertinya, workshop ini tidak berhenti sampai disini. Ada yang mengusulkan membuat moonriver sundel bolong/gitar bolong, maksudnya membuat musik malam dengan oncor dan gitar bolong di setiap bulan purnama. dan peri-peri kasreng bertebaran sepanjang bantaran, jin-jin bajigur ngadarepa sisi walungan dan tentu saja pak camat dengan tatapan mata yang tajem. Berbaris pula para pelukis, penyair dan antek-anteknya memancing ikan, menasbih sunyi. (bersambung belum beres)
awan cukang kawung
· · Share

    • Galih Nugraha Su Tengkiyu, resep :)
      Tuesday at 01:02 ·

    • Deni Ing terharu..
      Tuesday at 11:10 ·

    • Abah Donny dimana saya bisa mendapatkan kaset dan cd nyah...apakah di toko besi sebalah ada Mang ??!!
      13 hours ago ·

    • Egi Fedly Cai Cidurian.....caina siga Bajigur.....yu urang bersihan....ngarah caina herang.....salut kepada warga Cukang Kawung yang sadar lingkungan.....
      A few seconds ago ·

Kamis, 02 Desember 2010

Catatan Hari Balada 27 - 28 November 2010

by Galih Nugraha Su on Friday, 03 December 2010 at 01:29
Bisa jadi hanya terjadi di Indonesia saja di hari ini. Para pemusik balada melakukan kampanye lingkungan, bukan kampanye besar, namun kampanye yang seadanya saja. Hari Balada yang berlangsung 2 hari, menengok dan berbagi kisah kosong tak kosong hingga kisah baru dengan warga desa di sekitar sungai Cidurian. Warga-warga bebersih sungai dari sampah, warga-warga tersenyum sebab mereka memiliki kebudayaannya sendiri, warga-warga apik serta ramah sebab mereka mengerti bahwa semua yang ada di sekitarnya adalah kantung ekonomi yang membuat mereka mandiri.

***

Sungai adalah gambaran. Kering sebab kemarau panjang. Ia jernih jika digunakan dengan baik dan kembali memberi kegunaan. Keruh dan tidakkah nantinya?

Sungai seperti ibu dan teteknya. Ia subur jika kamu menyayanginya, ia subur jika ditopang materi yang layak. Memberi tanpa pamrih, jika ia tidak memendam berbagai masalah dari hulu sampai anak sungainya berakhir di laut. Kalau saja tidak ada kekerasan padanya, air teteknya pun tidak akan mampat sebab terlalu lelah atau kurang gizi.

Sungai memang gambaran tingkahlaku. Dari hulu daun-daun mengendap ratusan tahun untuk menghasilkan mata air dari tumpukannya yang melebur menjadi tanah basah. Mengalir hasil mata airnya bersama-sama, menjadi satu kesatuan besar membentuk sungai. Jika terlalu banyak kekotoran pada awalnya, berapa banyak kehidupan akan berhenti hidup, sebab air yang memberi hidup tidaklah mengalir. Sungai adalah instant karma, yang selalu membayar lunas sebuah tingkahlaku.

Sungai adalah industri mandiri yang berdiri tanpa campur tangan kepentingan lain untuk menghidupi kehidupan di sekitarnya. Jika pihak lain mengotori, maka akan terjadi saling tunjuk untuk saling menyalahkan dari yang mengambil kehidupan dan isinya. Hal ini, tentu hanya terjadi dari yang menumpang hidup di luar kehidupan sungai. Sungai memang gambaran mandiri, yang rawan menjadi korban kekerasan dan pelecehan yang sudah dianggap wajar.

Bukan saja mengenai balada dan pemusik balada. Balada tidaklah pula ada, jika tidak ada pencerita dan pencatat. Meskipun cerita di sekitarnya amatlah banyak.

Pencerita tidaklah punya peran penting dalam berbuat, ia hanya bercerita, hanya penyampai pesan. Sudinya, ia sendiri tidak begitu paham betul akan cerita di masa depan. Sebab pencerita adalah pengamat yang tidak akan mampu bercerita lebih lanjut ketika ceritanya semakin usang besok, sebab ia berkata dengan ungkapan lisan. Ia hanya bercerita kemungkinan-kemungkinan, ia hanya bercerita mengenai masalalu, ia hanya bercerita mengenai hari ini.

Kemungkinan hanyalah mimpi dan harapan dari kematian pohon, untuk menghidupi sekitarnya menjadi bibit air, lalu menjadi sungai. Semoga manusia pun ikut membantu, membersihkan dan menjaga sungai. Agar sungai tetap mampu memberikan air teteknya pada anak-anak tanpa harus kekurangan gizi.


Terimakasih untuk warga Cidurian. Terimakasih untuk Mukti-Mukti, Ganjar Noor, Ary Juliyant, Rizal Abdulhadi, Egi Fedly, Deny, saya diajak ikut ke sana. - Bandung 29 November 2010, Galih Su.

Rabu, 01 Desember 2010

Selasa, 30 November 2010

HARI MUSIK BALADA


Tinjau Sungai, Ngupi dan Nongkrong
bikin Lagu Sungai

Konser ala Balada

Sharing Bikin Lagu
Sebuah catatan manis kembali dituliskan oleh para musisi balada Bandung, lewat perayaan Hari Musik Balada 2010 pada Sabtu dan Minggu lalu (27-28/11). Didasari rasa kebersamaan dan kecintaan terhadap seni, lingkungan dan kehidupan disekitarnya, sejumlah musisi balada seperti Mukti Mukti, Ganjar Noor, Egi Fedly, Rizal Abdulhadi, Deu Galih serta teman-temannya berbaur dengan warga di sekitar bantaran sungai Cidurian, tepatnya di lingkungan RW 10 Desa Cukang Kawung Bandung.Kegiatan yang berlangsung selama dua hari berturut-turut ini disambut hangat oleh para warga setempat. Pejabat lingkungan dari mulai Ketua RT /RW, Lurah hingga Camat pun turut membantu dan mendukung penuh kegiatan tersebut.
Selain berkunjung dan berinteraksi langsung dengan para warga, diantaranya pada mereka yang mengelola industri kemasyarakan seperti industri rumahan Konveksi kaos, sablon , gitar, kelompok kesenian tradisi seperti Calung dan Reog... para musisi balada juga membuat lagu langsung bersama warga. Salah satu frame menarik yg juga menginspirasi para musisi balada adalah kekompakan para warga dalam menjaga dan membersihkan sungai Cidurian yang menjadi hulu sungai yg mengalir di Bandung. "Adanya Hari Musik Balada ini bisa dikatakan sebagai sebuah terjemahan yang sangat luas, bukan hanya sekedar perayaan musik, tapi juga tentang masyarakat dan kehidupannya, karena memang begitulah isi musik musik balada sesungguhnya" ungkap Ary Juliyant dalam sebuah obrolan santai. Ary Juliyant juga merupakan salah satu musisi balada yg kembali hadir dan sengaja datang dari Lombok untuk perayaan Hari Musik Balada ini.

Ungkapan senada mengenai Hari Musik Balada juga dilontarkan oleh Mukti Mukti yang berpandangan dan mengajak agar para musisi balada harus tahu serta mengenal masyarakat dan kehidupan disekitarnya dengan cara turun langsung dan berbaur dengan masyarakat itu sendiri. Bukan hanya pagelaran kecil dan sederhana yang sengaja dibuat diantara para musisi balada untuk saling meapresiasi karya-karyanya dan menjadi salah satu wujud perayaan Hari Musik Balada. Sebuah bentuk apresiasi untuk para warga juga dihadirkan. Lima lagu yang sebelumnya dibuat bersama-sama dengan warga berhasil dirampungkan dan dikemas dalam sebuah album yang kemudian diberikan langsung untuk para warga. Lagu-lagu tersebut adalah Sungai Cidurian (Mukti Mukti), Tak Mau Sungainya Kotor (Rizal Abdulhadi), Cai Bajigur Cidurian (Egi Fedly), Panchali (Deu Galih), dan Sungai (Deny Ing).

"Sebuah perayaan yang sangat berkesan saat kita bisa menemui dan berbaur langsung dengan para warga, tidak ada jarak hingga terasa suasana kebersamaan yang hangat dan mengalir begitu saja. Lewat lagu-lagu yang kita buat bersama itu salah satu cara kita meapresiasi dan menyemangati kegiatan para warga yang sebetulnya banyak menginspirasi kita juga" ujar Egi Fedly yang baru pertama kali dan merasa terkesan dilibatkan dalam perayaan ini.

Memang ada banyak cara yang bisa dilakukan saat kita bicara tentang perayaan. Namun sesuai dengan semangat musiknya, Hari Musik Balada dirayakan dengan bersahaja, penuh kebersamaan, saling menginspirasi, saling mengapresiasi, dan disanalah disebenarnya kemegahan sebuah perayaan itu hadir. (wai)

JERUJI, Egi Fedly, Arr.Ary tretura

Senin, 29 November 2010

Segeralah sembuh.....Benderanya Sudah Berkibar!!!!!


by Nona Dian on Monday, 29 November 2010 at 02:02
MUSISI GELAR PENTAS "BENDERA HARUS BERKIBAR"
Minggu, 28 Nov 2010 16:32:47| Ibukota dan Daerah | Dibaca 52 kali

Bandung, 28/11 (ANTARA)- Musisi Balada Ferry Curtis menggelar pentasnya, bertajuk "Bendera Harus Berkibar" guna memperingati 80 tahun Gedung Indonesia Menggugat.

Ferry Curtis yang ditemui di Gedung Indonesia Menggugat Jl Perintis Kemerdekaan No.5 Bandung, Minggu, Mengatakan, konser tunggalnya yang akan diiringi 10 rekan lainnya seperti Danny Reginus, Reynout, Echalino, Asep , Ary Tretura, Yopi, Arif juga Krisna akan diadakan secara geratis pada 2 Desember mendatang.

Dari konser ini Ferry telah menyiapkan sekitar 12 lagu andalannya anatara lain ; Anak kecil kehilangan bendera, Bendera Harus Berkibar, Ilalang yang terbakar, Kau yang terpilih, Kaki-kaki kecil anak-anak kita dan Sahabat Cahaya.

Konser yang bertajuk "Bendera Harus Berkibar," berawal dari keinginannya untuk menanamkan rasa bangga generasi muda terhadap negaranya sendiri.

Ferry mengungkapkan, beberapa waktu lalu tak sedikit orang tercengang mendengar pidato Obama yang pulang kampung, sementara tidak sedikit juga generasi yang melupakan, bahwa kita memiliki bapak orator terhebat, bapak bangsa yang juga "Putra Fajar" Indonesia, dimana ia mengungkapkan pidatonya pada tanggal 2 Desember silam di Gedung besejarah kota Bandung, dia lah, Bung Karno.

Seperti kutipan dari syair lagu Ferry "Kini tinggal cerita dari jayanya Sang Fajar Bangsa, kita telah merobek warna bendera lukai sendiri." Dari syair lagunya Ferry ingin mengungkapkan bahwa sejatinya generasi Indonesia sudah selayaknya tetap memegang benderanya, jika pun bangsanya kalah dan hancur ditengah kepungan beribu musuh, generasi terbaik adalah generasi yang mampu memegang benderanya hingga dia mati.

Disinggung mengenai lagu berpola industrialis, Ferry berpendapat bahwa "genre" musik yang diusungnya merupakan "genre" yang jauh dari kebiasaan virus yang diperdengarkan industrialis pada masyarakat.

Ferry mempercayai bahwa Tuhan hanya mengajarkannya untuk terus berikhtiar memberikan yang terbaik.

Ribuan lagu cinta yang dihasilkan oleh industri tidak menjamin bahwa akan mendorong rasa nasionalisme dan bertambahnya rasa cinta terhadap tanah air.

"Tidaklah penting membeludaknya penonton saat konser hingga banyaknya korban berjatuhan bukan karena cinta nya pada tanah air tapi karena mabuk, tauran dan lagu cinta yang diperdengarkan pola industrialis pada akhirnya hanya berdampak sia-sia," katanya.

Dengan demikian Ferry Curtis, berharap bahwa musik selayaknya dapat menginspirasi kehidupan agar "Menjadikan hidup lebih hidup karena ketika kita dengarkan musik yang mati kita akan mati, Ketika kita dengar musik yang hidup maka kita akan hidup," tambahnya. ***4***

Senin, 22 November 2010

Jalan bagi Pergaulan di Kancah Global

by Herry Dim on Monday, 22 November 2010 at 17:48
(kertas pengantar diskusi worldmusic)

Catatan: Herry Dim

Freedom! Progressing is in the world of art as in the mighty creation the purpose. There is no rule in art that could not be superseded by a higher one. …further reveal the higher and true field of art and to transfer yourself further and further up into art's heaven!
Ludwig van Beethoven

Hey Kabayan, hirup mah durang duraring, atuh da bongan boga hariring. Hirup mah during durirang, da bongan boga haleuang. Heuheuy hoyah, hirup mah ngagebah susah.
Mang Koko – gending keresmen Si Kabayan 

Kita duduk bersama-sama di sini persis sehari menjelang berlangsungnya “Monju West Java World Music Festival (MWJWMF)” selama dua hari, 19 – 20 November, di sini, di area Monumen Perjuangan, Bandung. Adakah besok itu sekadar seperti umumnya terjadi yaitu kenduri pertunjukan musik dan setelah itu bubar? Atau jika diubah pertanyaannya, apa kepentingan worldmusic bagi konstelasi kebudayaan kita?
Jawaban atas pertanyaan seperti itu, seyogianya muncul dari penyelenggara yaitu Dinas Pariwisata dan Budaya (Disparbud) Jabar dan terutama dari “otak” di balik berlangsungnya MWJWMF. Itu pun jika suatu peristiwa hendak ditempatkan menjadi peristiwa budaya, suatu perjuangan panjang untuk mencapai perbaikan, dan pada akhirnya mendirikan kebudayaan baru yang lebih sehat, hadir di tengah peradaban baru, dan diapresiasi oleh publik dengan sepatutnya.
Hal di atas dikemukakan di awal catatan mengingat gerakan worldmusic di satu sisi sesungguhnya memiliki fungsi strategis bagi ‘nasib’ sejumlah musik etnik kita, bisa menjadi jalan bagi ‘pergaulan baru’ di dalam kancah global, dan tak dimungkiri memiliki daya bagi kepentingan pariwisata.  Tapi di sisi lainnya, sekaligus demi tercapainya hal yang strategis tersebut, menjadi mungkin jika suatu peristiwa itu ditempatkan di dalam kerangka kebudayaan; tidak semata-mata ditempatkan sebagai ‘kariaan’ melainkan tempat berlangsungnya kecendekiaan.

**

Tapi marilah kita lupakan hal yang luput atau tak tergarap oleh “otak” MWJWMF tersebut, kini selintas kita coba menyimak sisi penting worldmusic.
Di tengah kehidupan kita sendiri amat sering kita dengar percakapan warung kopi hingga ke forum-forum akademik yang antara lain membincangkan betapa tersisihnya seni etnik di hadapan seni industri. Jauh lagi ke belakang, sejarah kebudayaan (musik) secara global seolah telah terpaku kepercayaannya dengan keyakinan bahwa puncak-puncak pencapaiannya berada di masa baroque, roccoco, hingga klasik. Itu sekadar untuk menggambarkan bahwa di dalam masa berabad-abad diyakini hanya ada satu arus besar di dalam kebudayaan musik, sementara yang lainnya (the other) itu adalah hal lain sebagai sampiran dan bahkan dianggap tidak ada. Sesungguhnya hal atau logika ‘arus besar’ tersebut sebetulnya berlangsung pula di wilayah politik dan ekonomi, masa kolonialisme dan penjajahan adalah salah satu saja dari citra umum tentang dunia masa lalu tersebut. Konsep imperialisme, istilah halusnya di kemudian hari menjadi persemakmuran (commonwealth), yang berkeyakinan mesti hanya ada satu-satunya kekuatan yang mengikat sekaligus memegang otoritas mengatur bagian-bagian kecil lainnya, adalah ciri lain dari logika arus besar tersebut. Manakala prinsip-prinsip kapitalisme muncul sejak kapitalisme awal (early capitalism) hingga moda kapitalisme ke-3 (third capitalism) sekarang ini, logika penguasaan arus besar menjadi beralih di tangan kekuatan modal. Jika pada kapitalisme awal jelas di dalamnya hingga menghalalkan pemerasan dan penindasan umat manusia, pada kapitalisme ke-3 di samping pembesaran modal yang multi-gigantik adalah juga penguasaan teknologi, perangkat dan teknologi informasi; alat main berkutnya adalah juga ‘mempermainkan’ wilayah hak cipta (copyright) yang cenderung hanya berpihak kepada perlindungan modal mereka ketimbang perlindungan ‘bagian-bagian kecil’ tadi. 
Worldmusic, dengan terang-terangan atau pun lebih seringnya dengan terselubung, sesungguhnya telah menjadi jalan perlawanan (counter culture) terhadap Goliath arus besar. Awalnya serba alamiah, naluri keinginan bangkit dari setiap puak, etnik, bangsa-bangsa dengan cara dan gayanya masing-masing. Disebabkan sifat alamiahnya, maka pada awalnya pun berjalan masing-masing. Namun, sesungguhnya sejak mulai ditemukannya radio dan semakin canggihnya transportasi pesawat terbang, kesalingterhubungan antara satu puak dengan puak lainnya menjadi amat mungkin terjadi. Belakangan, dengan munculnya teknologi internet, hubungan antar-subjek (inter-subject) kebudayaan tersebut menjadi semakin dekat dan semakin intens lagi.
Adapun kemudian ada semacam klaim bahwa istilah worldmusic itu digelindingkan oleh Robert E. Brown, seorang etnomusikolog dari Universitas Wesleyan, Connecticut, AS; sebagai kenyataan ‘rasa ketertindasan’ dan kehendak untuk melakukan perlawanan terhadap arus besar, itu sesungguhnya (seperti diurai di atas) telah berlangsung cukup jauh sebelumnya dan nyaris pula merata dirasakan oleh berbagai etnik dan bangsa-bangsa di dunia. Dari kalangan klasik sendiri bahkan telah menyadari bahwa tidak ada kelas seni dalam pengertian yang satu ‘tinggi’ dan lainnya ‘rendah,’ seorang Beethoven, misalnya, menyatakan “there is no rule in art that could not be superseded by a higher one.” Sebab setiap etnik dan bangsa-bangsa itu memiliki ‘hariring’ (nyanyian) atau kebudayaannya sendiri-sendiri yang sesungguhnya tidak bisa dibanding-bandingkan dengan cara lihat ‘tinggi’ dan ‘rendah.’ Mang Koko dengan bahasanya di dalam salah satu nyanyian ciptaannya menyatakan “hirup mah durang duraring, atuh da bongan boga hariring. Hirup mah during durirang, da bongan boga haleuang.”
Maka, dalam satu sisi, worldmusic itu bisa dikatakan sebagai gerakan perlawanan, suatu upaya menggugat dengan cara tidak mengepalkan tinju atau melempar batu melainkan dengan fitrahnya yaitu jalan musik yang kemudian ternyata ‘berkoloni’ di dalam jejaring bangsa-bangsa hingga kemudian menemukan istilahnya worldmusic. Oleh karena itu pula maka, energi di balik (beyond) peristiwa musiknya itu sendiri, yang kerap muncul menyertai gerakan ini adalah isu-isu sekitar persahabatan/persaudaraan, kesetaraan, kemerdekaan, perdamaian, kemanusiaan, dan kemudian sangat santer bicara pula ihwal lingkungan hidup.    
Kepentingannya, bagi kita, pertama bisa melihat bahwa ‘keperihan budaya’ itu ternyata tak dapat ditanggung sendiri-sendiri melainkan perlu adanya semacam sistem jejaring yang tak perlu menjadikannya seragam melainkan tetap di dalam keragaman, saling menghargai, setara, sehingga segenap yang semula tersembunyi karena terkubur arus besar itu menjadi memiliki ruang aktualisasi, hadir, dan sederajat. Sisi lainnya, yang perlu pula kita sadari, bahwa nasib ketertindasan seni etnik/tradisi itu ternyata tidak sendiri, melainkan ‘banyak teman’ karena terjadi serta terasakan di mana-mana di lingkup global ini.

**

Sadar atau tidak kita sadari, bersama peristiwa Woodstock 1969, munculnya gerakan Dadaisme, hingga pemikiran-pemikiran sekitar partispatoris, emansipatoris, kesetaraan yang disuarakan kalangan pasca-modern; saat itu sudah mulai diimpikan untuk hadirnya dunia baru yang lebih basajan, kembali ke alam (back to nature), merdeka, demokratis, serta saling menghargai. Semangat inilah yang kemudian membayang di berbagai gerakan worldmusic. Bentuk umumnya bertebar dalam pola festival seperti di antaranya adalah Ariano Folkfestival, festival worldmusic selama lima hari di Ariano Irpino;  California World Music Festival di pedesaan Nevada; World Sacred Music Festival di Olympia, Washington; WOMAD Foundation yang menyelenggarakan festival-festival di negara-negara seluruh dunia;  Starwood Festival sejak 1981; Festival de l'Inde di Evian, Haute-Savoie, Prancis; Mawazine, festival worldmusic di Rabat, Moroko, kini telah menjadi ikon musik internasional ala Arab; Svirzh World Music Festival di wilayah Lviv, Ukraina; Festival Músicas do Mundo, di Sines, distrik Setúbal, Portugal; dan lain-lain dalam jumlah yang masih banyak.
Kelak, jika MWJWMF mampu berjalan secara berkala, tak terlalu jauh bagi kita untuk membayangkan bahwa di kemudian hari peristiwa di kota Bandung ini menjadi bagian pula dari persitiwa pergaulan dunia. Jika peristiwa ‘kariaan’ tersebut selanjutnya mampu pula berjalan dengan menghargai ‘kecendekiaan,’ optimis pula bahwa di kemudian hari sejumlah seni tradisi yang kita miliki bisa mulai ‘bunyi’ dan ikut ‘berbicara’ di kancah dunia. Adapun seperti kita rasakan saat ini bahwa publik dan mediamassa cenderung seperti masih a-priori, bukan tidak mungkin pula pada waktunya nanti berbalik untuk ikut serta mengapresiasi. ***

(Herry Dim, pelukis, pekerja teater, pecinta/penulis bahasan musik, tinggal di Cibolerang)




=naskah ini disampaikan pada dialog pra-event West Java World Ethnic Festival, 18 November, Ruang Dalam Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, jl Diponegoro 9, Bandung.

Penampilan Hari Pochang dan Collin Bass pada alah satu peristiwa "Monju World Music Festival 2010" (foto: Martha Topeng)

Sorasada

 

SorasadaKembali membawa pesan/naskah Kabuyutan/Raja-Raja Sunda melalui lagu-lagu.

"Sorasada", Menggugah Sunda dengan Musik

LAYAR pentas terbuka pelan. Mengikuti gerak kain layar. Suara kecapi
terdengar ritmis. Lalu vokal Wulansari, terdengar pelan dan panjang.
Suling mengembus seolah datang dari kejauhan. Layar terbuka
seluruhnya. Suasana syahdu, tapi juga terasa mistis. Dan itu bukan
lantaran seluruh musisi berbaju hitam, tapi lebih karena bangun
musikal yang mulai menekan.
KELOMPOK musik Sunda "Sorasada" menampilkan jenis musik "Jazz Sunda
Progresive" dalam penampilan mereka di Padepokan Seni Jawa Barat
Bandung, Jln. Peta Sabtu malam (4/11) 2006. Musik yang memadukan
"keyboard", bas, konga, "dogdog", kecapi, suling serta kendang ini
merupakan pertemuan musikal yang menarik dan dinamis.*M. GELORA SAPTA/"PR"

Terlebih ketika keenam vokalis perempuan (rampak sekar) bergantian
mengucapkan Hanamuni Hanamangke (Ada dulu ada sekarang, tak ada dulu
tak ada sekarang). Mereka mengucapkannya bergantian. Suasana terasa
sengaja dibiarkan mengendap. Pukulan dogdog, raung keyboard, embusan
suling, dan bas yang mengendap-endap. Seluruhnya terus berada dalam
perulangan yang ritmis, namun terasa makin syahdu dan mistis, terutama
dalam perulangan kata-kata Hanamuni Hanamangke.

Pada satu kelokan nada yang tak terduga, tiba-tiba tempo berubah
dengan sentakan pukulan dogdog dan kendang yang ritmis, juga
ketukan-ketukan konga yang dinamis. Suasana mendadak berubah menjadi
riang. Terlebih ketika penonton merenspons dengan tepuk tangan
mengikuti irama perkusi.

Akan tetapi mendadak semuanya kembali berubah tak terduga. Ketika
tempo dan irama semakin cepat serta riang, mendadak semua menemukan
akhirnya. Klimaks yang dibiarkan tergantung, tapi sangat impresif.

"Hanamuni Hanamangke", itulah nomor pertama dari suguhan kelompok
musik Sorasada dalam penampilan mereka di Padepokan Seni Jawa Barat
Bandung, Jln. Peta Sabtu malam (4/11). Sebuah komposisi yang
mengadopsi kesadaran tentang akar dan sejarah Sunda, hari ini dan masa
lalu. Dengan materi musik yang terdiri dari dog dog, konga, kecapi,
suling dan keyboard, kesadaran ini dengan menarik diungkapkan lewat
bangun dan suasana musikal yang syahdu dan mistis, juga menyimpan
karakternya yang dinamis, seolah hendak mempertautkan ruang masa dan
masa kini.

Sebagai sebuah kelompok musik Sunda, Sorasada memang masih terbilang
baru. Namun kelompok yang menyebut jenis musiknya sebagai Jazz Sunda
Progresive ini, terasa telah memiliki karakternya yang jelas. Dan itu
didukung oleh kemampuan musikal para personelnya yang rata-rata
bukanlah orang-orang kemarin sore dalam musik tradisi Sunda; Yuyus
Ertano (konga, dog dog) Asparasepta (kendang), Oki GPL(kohkol), Iing dan
Tedi (kecapi), Ganjar Noor (bas), Apipudin (dog dog).

Seperti juga Zithermania dan Samba Sunda, Sorasada adalah kelompok
yang mencoba menghadirkan estetika musik lewat pemahaman yang lebih
terbuka pada seluruh tradisi musik, tanpa kehilangan karakternya
sebagai musik yang bernuansa Sunda. Memadukan keyboard, bas, konga,
dan dogdog, kecapi, suling serta kendang, merupakan pertemuan musikal
yang menarik dan dinamis. Instrumen yang berbeda budaya itu saling
memberi mengisi dan memberi makna dalam warna musik Sunda.

Inilah yang juga terasa dalam nomor "Pamuda Sunda". Nomor ini
merupakan sebuah lagu rakyat (folk song) yang berasal dari Baduy.
Vokal Asparasepta dengan syair bahasa Baduy membuka nomor ini, untuk
lantas disambung dengan gemuruh pukulan dogdog yang ritmis dan cepat,
juga suling yang melengking. Pada nomor pendek ini terasa komposisi
mengalir dalam struktur yang apik. Estetika bunyi dan kesadaran tema
yang hendak disampaikan terasa perhubungannya.

Mengolah musik untuk menghadirkan gagasan kesadaran tentang Sunda,
inilah yang menjadi keberangkatan Sorasada dalam penampilan mereka
malam Minggu kemarin. Delapan nomor yang mereka mainkan malam itu,
seluruhnya bertemakan kesadaran tentang Sunda.

Seperti juga nomor "Pamuda Sunda", nomor "Sunda Sawawa" juga hendak
menghadirkan semacam "panggeuing". Lirik lagu ini bertutur tentang
keindahan tanah Sunda dalam irama yang riang dan dinamis. Cabikan bas
Ganjar saling berinteraksi dengan pukulan konga Yuyus Ertano dalam
nada-nada tinggi, untuk lalu pelan kembali merendah dengan peralihan
yang manis.

Peralihan tempo yang tak terduga dalam irama yang lincah, inilah yang
selalu dilakukan, yang berpadu dengan kekompakan para vokalis rampak
sekar. Mereka mampu larut dan masuk ke dalam setiap perpindahan irama
dan tempo, tanpa kehilangan kontrol vokal dan kekompakannya. (Ahda
Imran)**

Saksikan Perfom kami dengan pesan-pesan kabuyutan dan raja-raja sunda
Tanggal 8 Dsember 2010 di Bumi Sangkuriang Jl. Kiputih Ciumbuleuit Bandung.

Agenda BALADA

27 - 28 November Workshop dengan warga Bantaran Kali Cidurian Bandung, membuat lagu tentang Sungai

2 Desember 2010 Konser Ferry Curtis n Friend "KEPADA PUTRA SANG FAJAR", Pukul 19:30 - 21:30 WIB bertempat di GIM (Gedung Indonesia Menggugat) Jln. Perintis Kemerdekaan No.15 Bandung.

3 Desember 2010 KonserFriday,pk 20:00
Ruang Putih Bandung, Indonesia Ary Juliyant TIME TUNNEL

8 Desember 2010 pk 20.00 BALADA HIJAU Present Ully Hary Rusady, Ganjar Noor, Sorasada, Sunex, Kolaborasi Cikruh Ary Juliyant & Mukti mukti

10 Desember 2010 Konser Ferry Curtis gedung KAA, Bandung

BALADA HIJAU



Balada Hijau, merupakan Produksi ketiga dari Bumi Sangkuriang Country & Ballad Community, setelah Balada Untuk Wawan Juanda dan Balada Untuk Bencana...
Acara reguler pada setiap hari Rabu Minggu kedua tiap bulan ini, dikemas sebagai pertunjukan yang apresiatif...selain menampilkan pemusik Country&Balada,pada beberapa event juga menampilkan Musikalisasi Puisi, Puisi, Monolog dan Performing Art.
Kali ini Kerinduan akan Alam Hijau menjadi benang merah , dengan menampilkan karya karya bernuansa lingkungan hidup dari Ully Hary Rusady, Ganjar Noor, Sorasada Akustik, Kolaborasi Cikruh, Ary Juliyant dan Mukti mukti....Mc Empat Perempuan.
Balada Hijau akan diselenggarakan pada tanggal 8 Desember 2010 pukul 20.00 Wib, bertempat di Bumi Sangkuriang, jalan Kiputih 12 Bandung .
Balada Hijau merupakan bentuk kerjasama dari Bumi Sangkuriang, Melinda Hospital, Hotspot Art Production dan Komunitas Balada Bandung....Be there...

Jumat, 12 November 2010

BALADA untuk BENCANA: CATATAN SUARA KEPEDULIAN LEWAT APRESIASI KARYA

Sebuah konser amal bertajuk Balada untuk Bencana digelar pada Rabu malam lalu (10/11) di Bumi Sangkuriang, jalan Kiputih 12 Bandung. Konser ini merupakan persembahan dan wujud kepedulian kepada korban bencana Merapi, Mentawai dan Wasior dari Bumi Sangkuriang Country and Ballad Community yang bekerjasama dengan Hotspot Art Production, BP Bumi Sangkuriang, Melinda Hospital, serta para musisi balada dan country di Bandung.
Konser amal ini tidak hanya sekedar bertujuan untuk mengumpulkan dana bagi para korban bencana, tapi juga keutuhan apresiasi musik dari musisi balada dan country tetap dihadirkan kepada hampir tiga ratus audience yang hadir malam itu. The Daltons Band, yang tampil sebagai band pembuka pertama dengan membawakan lagu Looking In The Eyes of Love milik Alison Krauss and Union Station, serta satu lagu karya The Daltons yang berjudul Mimpi yang Indah. Dengan tetap membawa sentuhan warna country khas The Daltons, salah satu band country yang juga sudah sangat dikenal di Bandung ini mampu menarik audience membuka konser dengan manis.
Sebagai penampil berikutnya, Tjermin yang mengenalkan diri sebagi pengusung aliran balada progresif juga membawakan dua lagu karya mereka, Merah DarahKu dan Kabari Aku. Berbeda dengan penampilan-penampilan sebelumnya, di konser amal malam itu Tjermin tampil dengan sentuhan aransemen sederhana lewat perpaduan suling sunda, gitar elektrik yang dipetik dan dimainkan dengan bow (alat penggesek biola).
Band yang tampil berikutnya adalah C’kroh, sebuah band country &ballad yang belum lama dibentuk dan dimotori Egi Fedly ini membawakan lagu Prahara Aceh, sebuah kejutan kemudian dihadirkan lewat kolaborasi bersama Mukti Mukti yang juga menjadi MC di acara tersebut. C’kroh tampil membawakan Doa untuk Indonesia, salah satu lagu milik Mukti Mukti yang malam itu sengaja diaransemen dengan warna musik reggae.
Sebagai pengisi acara utama pada konser Balada untuk Bencana, Ferry Curtis and Friends kemudian tampil membawakan sejumlah lagu yang berisi lirik yang begitu kuat dan sentuhan musik yang apik. Beberapa lagu Ferry Curtis yang dihadirkan malam itu antara lain Ilalang Terbakar, Perempuan Masa Lalu, Menggapai Matahari, Derap Langkah, Sahabat Cahaya, sebuah lagu baru berjudul Kisahmu, Kisahku, Kisah Kita dan Aga Kareba yang dijadikan lagu penutup. Di beberapa lagu Ferry Curtis &Friends juga tampil berkolaborasi dengan sentuhan biola dari Ary Tretura, tak heran kalau para mahasiswa Poltekes Angkatan Udara yang menjadi tamu undangan di acara tersebut dibuat semakin betah dan begitu menikmati acaranya, selain karena kemampuan entertain Ferry Curtis yang komunikatif kepada audience.
“Pagelaran musik semacam ini memang menjadi jadwal rutin Bumi Sangkuriang Country and Ballad Community setiap bulan. Sesuai namanya salah satu misi kita adalah mengajak teman-teman dari komunitas country dan balada untuk menjadikan ini sebagai ruang apresiasi karya dan membaurnya komunitas country dan balada, khusususnya di Bandung. Kebetulan di acara bulan ini kita membawa tema social event Balada untuk Bencana” ujar Egi Fedly sebagai koordinator acara sekaligus koordinator Bumi Sangkuriang Country and Ballad Community.
Lebih lanjut Egi juga memaparkan bahwa kegiatan Bumi Sangkuriang Country and Ballad Community ini setiap bulannya akan terus menghadirkan tema dan warna-warna berbeda yang diharapkan bisa diisi oleh musisi-musisi balada dan country. Kegiatan rutin ini juga digambarkan Egi sebagai media keprihatinan terhadap industri musik Indonesia yang sedang “sakit” dan nyaris tak memberi tempat untuk musik yang memang isinya menawarkan suatu cara pandang yang berbeda baik dari segi lirik dan musik seperti musik balada dan country.
Acara ini juga bisa disebut sebagai moment pertama yang menggabungkan musisi balada dan country di Bandung dalam satu ruang apresiasi. Hadirnya The Daltons Band bersama Mukti Mukti, Ferry Curtis, Egi Fedly, dan Tjermin dalam satu moment memamg cukup menjadi catatan yang menarik. Tentunya moment seperti ini diharapkan bisa berulang dan terus berlanjut, bukan hanya lewat ruang yang disediakan oleh Country and Ballad Community tapi juga lewat ruang apresiasi dan acara lainnya
Dari acara yang berlangsung dari pukul 20.00-23.00 WIB tersebut berhasil terkumpul dana sebesar 5.549. 400 rupiah yang didapat dari kencleng yang diedarkan kepada seluruh audience, serta sumbangan langsung dari Poltekes Angkatan Udara. Dana yang terkumpul ini kemudian akan disalurkan melalui SoKa (Sokong Kawan), sebuah forum sosial yang sengaja dibentuk oleh musisi balada di Bandung. Sebelumnya juga SoKa telah menggalang dana lewat beberapa acara dengan menjual CD kompilasi balada, lelang ilustrasi pusisi, lukisan dan buku. (wai)

Kamis, 11 November 2010

Arti "World Music" bagi Bandung

Arti "World Music" bagi Bandung

by Herry Dim on Thursday, 11 November 2010 at 11:42
Catatan: Herry Dim
Jawa Barat dengan mengambil tempat di kota Bandung, tepatnya lagi di areal Monumen Juang (Monju), 19 – 20 November 2010 ini akan menyelenggarakan perhelatan besar bertajuk “Monju West Java World Music Festival” (MWJWMF), menurut rencana akan menampilkan Colin Bass (Inggris), Jeny Weisgerber (Jerman), Sarah & Meika Gomez Ttukunak (Spanyol), Kamal Musalam (Dubai), Ron Reeves/Warogus (Australia/Indonesia), serta sejumlah kelompok atau musisi tanah air.
Setelah adanya perhelatan “Bambu Nusantara 4 World Music Festival” Oktober 2010 dan Bandung World Jazz Festival 6 – 7 November 2010 yang cenderung bernuansa worldmusic pula, maka MWJWMF bisa dikatakan sebagai tanda berikutnya tentang begitu besar perhatian Jawa Barat atau pun kota Bandung terhadap genre worldmusic.
Besarnya antusiasme kalangan musik Bandung terhadap worldmusic, kiranya memiliki alasan yang cukup jelas. Jauh sebelum lahirnya istilah world music adalah orkes Gentono di Gedung Merdeka, Bandung. Pertunjukan yang berlangsung tahun 1952, itu menampilkan simfoni gamelan yang menyajikan komposisi-komposisi dunia. Gentono, memang, kemudian mendapat kritik keras dari pasangan pengeritik musik, J. A. Dungga dan L. Manik, tulisannya diterbitkan dalam bentuk antologi berjudul “Musik di Indonesia dan Beberapa Persoalannya” oleh Balai Pustaka pada tahun 1952.
Tulisan J. A. Dungga dan L. Manik tersebut di kemudian hari dianggap skeptik dan arogan, demikian setidaknya menurut Alif Danya Munsyi (nama alias dari Japi Tambayong). Di dalam sebuah risalahnya, Alif Danya Munsyi memetik salah satu bagian tulisan J.A. Dungga dan L. Manik yang dianggap skeptik tersebut sebagai berikut: “…kita katakan Gentono dilihat dari sudut kerja seni, sangat rapuh… Dan di sini terletak suatu kepincangan dari Gentono, jadi Gentono yang memakai alat-alat gamelan yang katanya sudah dipermodern itu, dan bukan gamelan itu sendiri… Umumnya kita sudah tahu bahwa gamelan tak membikin perubahan apa-apa sejak berabad-abad lamanya sehingga keadaan dan kedudukannya masih dalam status sederhana alias primitif, yang menghasilkan musik primitif pula.”
Tak Berpandangan Jauh
Jika melihat perkembangannya kemudian, pandangan Alif Danya Munsyi memang cukup beralasan. Pasangan J.A. Dungga dan L. Manik,bahkan menjadi kelihatan tak berpandangan jauh mengingat bahwa Debussy seusai menyaksikan sajian gamelan pada Exposition Universelle di Paris 1889, kemudian membuat komposisi dengan skala pentatonik. Dua puluh tahun setelah turunnya tulisan J.A. Dungga dan L. Manik munculah pula Harry Roesli dengan sudut pandang yang sama sekali berseberangan. Sekira tahun 1971-73an Harry Roesli mulai membuat proyek “Titik Api,” sebuah upaya kreatif yang menggabungkan gamelan (degung) dengan musik funky dan rock. Hasil kreasi Harry Roesli dan kawan-kawan diproduksi dalam bentuk kaset oleh majalah musik “Aktuil” pada tahun 1976. Peluncuran kaset “Titik Api” ditandai dengan sebuah diskusi musik di Gelanggang Generasi Muda – Bandung, tampak hadir di sana sebagai pembicara adalah Harry Roesli, Remy Sylado, dan (jika tak salah) Nano S. Salah satu pernyataan Harry Roesli yang terasa penting kita ungkap kembali di sini adalah “bagi saya gamelan itu tak lain sebagai alat seperti halnya gitar, piano, atau alat musik lainnya… sebagai alat (musik) maka sesungguhnya gamelan itu bisa digunakan untuk memainkan apapun, bisa dimainkan untuk Kebo Jiro atau pun rock ‘n roll.”
Berdasar satu kejadian “Gentono” dan satu pemikiran “Titik Api” Harry Roesli, rasanya itulah awal mula kesadaran yang kemudian terjadi di mana-mana hingga menemukan terminologinya yang disebut world music. Pelaku Gentono atau pun Harry Roesli, ketika itu, tentu saja tidak/belum mengatakan musiknya dengan istilah worldmusic, namun urat nadi pikirannya jelas sekali mengarah ke arah tersebut, yaitu semacam upaya menempatkan kesetaraan alat atau pun musikalitas di dalam suatu wujud musik baru.
World music dalam kategori umum memang diartikan sebagai musik global, termasuk ke dalamnya adalah musik tradisional atau musik rakyat (folk music) dari suatu kebudayaan sehingga berkait atau mencerminkan musik di suatu wilayah dengan ciri kedaerahannya, dan kemudian oleh sebuah kenyataan serta pola pergaulan baru (global) maka memungkinkan musik tradisi tersebut mengalami kesetaraan serta bersinggungan dengan tradisi-tradisi di luar dirinya.
Terminologi
Wacana yang kemudian menjadi world music kali pertama dikemukakan pada tahun 1960an oleh Robert E. Brown, etnomusikolog dari Universitas Wesleyan, Connecticut, AS. Saat itu, seperti juga terjadi pada Harry Roesli, baru muncul semacam gambaran umum dan/atau belum sampai kepada formulasi sebutan atau pun pengistilahnya. Semasa proses menempuh pendidikan, Brown mengundang lebih dari 12 penampil tamu yang berasal dari Afrika dan Asia, dan saat itu mulailah pula terjadinya sejumlah konser yang nantinya disebut world music. Sebagai terminologi, Brown mulai memperkenalkannya pada 1980an sehubungan dengan kebutuhan pengklasifikasian hingga tuntutan pasar industri musik bagi jenis musik ini, yang semula dikelompokan sebagai ragam musik non-Barat.
Di tanah air kita sendiri, hingga menjelang tahun 1980an telah bermunculan kecenderungan-kecenderungan lain seperti halnya yang terjadi pada Leo Kristi yang berlandas pada musik troubadour tapi juga mengakrabi musik-musik rakyat yang bahkan dari pedesaan kampung halaman kita; bisa diperhatikan pula sejumlah cara kerja (workshop) yang dilakukan oleh Sawung Jabo yang senantiasa mengaitkan diri dengan berbagai musik di berbagai pelosok; meski agak berbeda tapi tak bisa dilupakan bahwa pada tahun 1970an Slamet A. Syukur membuat komposisi angklung yang bahkan kemudian pada tahun 1975 mendapatkan penghargaan khusus dari forum musik kontemporer di Prancis; di Sumatra adalah pula Rizaldi Siagian yang rajin ke luar-masuk masyarakat pedalaman (antara lain Dayak Kalimantan) dan kemudian membuat komposisi-komposisi bersama masyarakat adat setempat; dalam jalur musik lain adalah usaha Guruh & Gypsi yang mencampurkan musik panggung hiburan dengan tradisi Bali. Pasca-1980an hingga kini, upaya melakukan ‘pergaulan baru’ di dalam konteks musik terasa kian bergairah. Adalah di antaranya upaya Hidayat Recording yang mempertemukan Bubi Chen (piano) dengan Mang Uking (kacapi dan suling). Lebih menggelegak lagi manakala musisi-musisi muda mulai bermunculan, kita lihat misalnya kemunculan Ade ‘Idea’ Rudiana, Ozenk Percussion, Krakatau Slendro Jazz Band, hingga kepada kecenderungan paling kini semacam Karinding Attack.
Pada percaturan global, diskusi-diskusi worldmusic pun kian hangat. Belakangan muncul pula sejumlah definisi tentang world music yang antara lain saling rujuk serta tak sedikit pula yang saling bertentangan. Satu di antaranya menyatakan worldmusic itu adalah "segenap musik apapun yang ada di dunia." Satu pihak lainnya merasakan terminologi tersebut sebagai terlalu meluas hingga kemudian justru menjadi tidak punya arti (meaningless). Ada juga yang mendefinisikan sebagai musik kombinasi antara gaya musik populer barat dengan salah satu atau lebih banyak genre musik non-barat yang termasuk ke dalamnya adalah musik rakyat (folk music) atau musik etnik. Namun bagaimanapun patut pula diakui bahwa world music itu sifatnya cenderung tidaklah eksklusif seperti halnya musik rakyat tradisional. Di dalamnya memang mereferensi bentuk-bentuk musik asali (indigenous) dari berebagai wilayah kebudayaan di dunia, tapi di dalamnya terdapat pula kecenderungan modern, serta terdapat pula potongan-potongan gaya musik pop.
Sementara bagi kita dengan mengingat peristiwa Orkes Gentono di Gedung Merdeka Bandung dan lahirnya “Titik Api” dari Harry Roesli, maka tak ragu lagi untuk mengatakan bahwa kota Bandung adalah bagian terpenting dari lahirnya genre musikal baru yang kemudian disebut worldmusic. Bersama itu semua tak pula bisa dilupakan bahwa kita pun sebelum dan di antaranya telah memiliki tradisi musik keroncong yang jelas merupakan genre musik dari hasil lintas-budaya (cross-cultures), seperti halnya juga tanjidor, hingga stamboel. ***
[Tulisan ini dimuat Harian Kompas Jabar, Rabu, 10 November 2010, Rubrik “Forum” hal D]

Senin, 01 November 2010

BALADA untuk BENCANA


Sebuah konser amal bertajuk BALADA UNTUK BENCANA akan digelar di BUMI SANGKURIANG Bandung Pada tgl 10 November 2010.

Konser ini selain sebagai ajang apresiatif juga akan digunakan sebagai sarana pengumpulanDonasi bagi korban Bencana Wasior, Mentawai dan Merapi melalui penjualan karya Puisi, Penjualan CD Kompilasi dan Kencleng. Pengumpulan Donasi ini di koordinasi oleh kawan kawan yang tergabung dalam SOKA ( Sokong Kawan).

Dalam Konser ini, selain Ferry Curtis and Friend sebagai Main Talent, juga dimeriahkan Band Balada CIKRUH yang baru terbentuk, CERMIN dan THE DALTONS BAND.

Acara ini terselenggara atas kerjasama BUMI SANGKURIANG COUNTRY & BALLAD COMMUNITY, HOTSPOT ART PRODUCTION, MELINDA HOSPITAL, SOKA, serta didukung oleh Komunitas Balada Bandung, Komunitas Country Bandung, Majelis Sastra, Laskar Panggung dan GIM. (Egi)

Jumat, 22 Oktober 2010

Sebuah Dedikasi untuk Sang Kreator Bandung


PDF Print
SEPUTAR INDONESIA

Thursday, 21 October 2010
MESKI hujan terus mengguyur,namun alunan musik balada yang dibawakan oleh sejumlah musisi balada asal Kota Bandung membuat hangat suasana di Ballroom Bumi Sangkuriang.

Pertunjukan musik Country and Ballad Community itu bertajuk Balada untuk Wawan Juanda. Sesuai judulnya,acara tersebut memang dibuat untuk mengenang sosok kreator asal Bandung yang telah berpulang yaitu Wawan Juanda, mantan President Republic of Enterteinment dan penggagas pelbagai festival serta pertunjukan di Bandung. Sejumlah musisi Kota Bandung seperti Mukti-Mukti, Ferry Curtis,Amy, Sisca Guzheng, kaiYa, Kapak Ibrahim, Egi Fedly, dan beberapa nama lainnya melantunkan lagu-lagu bertemakan Wawan Juanda.

Penghormatan juga disampaikan dalam bentuk lain seperti pembacaan puisi. Puisi itu dari penyair/penulis Matdon, Jusef Laskar Panggung, dan sejumlah penyair dari Majelis Sastra Bandung.Pengunjung yang hadir juga disuguhkan pertunjukan teater dari Teater Laskar Panggung yang membawakan tema yang sama,tentang Wawan Juanda. Sebelum pertunjukan musik dimulai, acara diawali dengan penyerahan lukisan dan album kompilasi untuk keluarga Wawan Juanda. Album kompilasi dan lukisan tersebut diterima oleh adik almarhum, Dadang.Koordinator acara, Egi Fedly, mengatakan Balada untuk Wawan Juanda ini memang dibuat sebagai ungkapan terima kasih kepada almarhum.“Para seniman Bandung ingin mengungkapkan rasa terima kasih kepada tokoh yang juga berperan penting dalam dunia seni dan kreasi,”ujar Egi.

Dia menambahkan,dari komunitas Country dan Balada sendiri memang memberikan karya kepada keluarga Wawan Juanda.“Ya ini memang keinginan kami dan juga kami diberi kesempatan oleh Bumi Sangkuriang untuk mengadakan acara ini.Acara ini sendiri sifatnya apresiatif,” jelas Egi yang sering berperan sebagai tokoh antagonis di layar kaca itu. Di mata Egi,Wawan Juanda adalah sosok inovator dan eksekutor andal.Meski,Egi belum pernah bertemu langsung dengan almarhum, namun dia sering mendengar cerita dan pengalamannya dari kerabat. “Agak menyesal juga belum sempat mengenal langsung,”ujarnya. Sementara itu, seniman dan juga sahabat Wawan Juanda,Mukti- Mukti, mengatakan Wawan Juanda adalah orang sederhana.

“Dia adalah seseorang yang sangat mencintai kota kelahirannya, Bandung. Kami itu kalau ngobrol sering yang berbau politis dan juga obrolan seputar bagaimana membuat sesuatu yang lebih punya arti untuk Bandung,”ungkap Mukti-Mukti saat ditemui seusai dia tampil di panggung. Sebagai ungkapan kagum dan terima kasih serta penghargaan buat sahabatnya itu, Mukti-Mukti mendendangkan satu buah lagu bertajuk His Sky of Stage. Lagu ini pun sebelumnya sempat dia bawakan saat “Festival Bambu 2010” di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) beberapa waktu lalu. “Dalam kesempatan untuk tribute to Wawan Juanda pula,”tuturnya. (dinda wulandari)

coverjabar

Kamis, 21 Oktober 2010

Catatan Malam Musik "Balada Wawan Juanda'


by Herry Dim on Thursday, 21 October 2010 at 12:46

Cinta Itu - Musik Itu

Ketika video musik semacam 'keong racun' tiba-tiba meledak dan/atau mendapat pengakuan publik, ada dua hal sesungguhnya yang bisa kita lihat yaitu (1) dunia teknologi dan daya sebar informasi telah membuktikan kedigjayaannya dalam membentuk opini dan bahkan menyetir cita-rasa publik. Sihir informasi bahkan kebuktikan pula mampu membolak-balik atau paling tidak memburamkan batas-batas antara baik dan buruk, benar dan salah, bermutu dan tidak bermutu, dst.: dan (2) sadar atau pun tidak kita sadari bahwa saat itulah terjadinya keruntuhan tata nilai dan/atau media tempat beredarnya informasi telah menjadi dunia tanpa nilai. Terbukti bahwa seni artifisial, bersifat manipulatif, atau kasarnya tipu-tipuan (teknik lipsing) tak diperdulikan lagi sebagai dusta atau kebohongan melainkan diterima sengan suka cita.

Itulah dunia kita di dalam media (terutama televisi) saat ini, yaitu dunia yang sebagian besarnya adalah dunia artifisial atau dunia yang bukanlah kenyataan yang sebenarnya, melainkan dunia yang telah direkayasa, dikotak-katik, bahkan dijungkir-balik demi kepentingan tertentu yang terutama demi kepentingan berlipat-gandanya modal dan keuntungan.

Musik yang juga mendapatkan porsi cukup besar di dalam dunia informasi televisi dan kemudian internet, sebagian besarnya bisa dikatakan tak terbebas dan bahkan justru menjadi bagian dari dunia artifisial serta manipulatif tersebut. Fenomena 'keong racun' seperti disebutkan di awal tulisan, ini adalah salah satu bukti puncak kedigjayaan dunia informasi di satu sisi, di sisi lainnya adalah bukti keruntuhan dimensi dan apalagi kedalaman musikalitas.

Di penghujung lainnya maka sesungguhnya sulit (untuk tidak mengatakan sama sekali tidak ada) bagi kita untuk mendapatkan nilai-nilai di dalam televisi dan internet sebagai salah satu penghantar informasi, yang ada adalah lautan atau gelombang yang bertumpuk, tumpang tindih, saling desak hingga saling banting antara satu simulacum dengan simulacrum lainnya.

Lantas, kita pun mungkin selanjutnya bertanya; di manakah kiranya tempat hadirnya musik yang masih memperlihatkan dan memperdengarkan alamiahnya? Di manakah tempat kita masih bisa menemukan kehangatan cinta antar-sesama manusia?

Jawabnya, ada banyak musisi, kelompok, atau komunitas musik yang beredar di luar televisi dan sofistikasi informasi. Di antara mereka itu tidak anti-informasi dan tidak pula anti-televisi, tapi galibnya tidak memberhalakannya dan/atau mengagungkannya secara berlebihan. Mereka lebih memilih ruang-ruang yang alami, ruang tempat bertemunya hubungan antar-manusia, tempat saling bersapanya dunia bunyi sekaligus keheningan.

**

Peristiwa musikal yang bertajuk "Balada Wawan Juanda" yang berlangsung Rabu malam, 20 Oktober 2010, di Bumi Sangkuriang adalah salah satu dari sekian banyak 'ruang' yang dihubungan oleh hati dan cinta tersebut.

Seperti halnya ruang tempat makan, kafe sederhana, sedikit lahan komunitas, bahkan kini banyak pula musik (bagus) yang bertebar di trotoar jalanan; malam itu tampilah dengan bersahaja tapi penuh kehangatan cinta sekaligus daya musikalitas hingga teatrikalitas berupa monolog dari Yusef Muldiyana, permainan biola Amy Chepy Kurniawan yang saling hantar dengan pembacaan puisi Kyai Matdon, duet Mukti-Mukti dan Siska, Komunitas Musik Jatiwangi Art Factory, Rizal Abdulhadi, Laskar Panggung, Matdon & Majelis Sastra Bandung, tampilan Ferry Curtis (bersama Ary Viool, Amy), Kapak Ibrahim, Tiga Perempuan (Ken Atik, Vinny Damayanti, Ine Arini), Ganjar Noor, KAiYA, Martha Topeng & Siska, Duo Cermin, dan ditutup penampilan Egi Fedli yang ditemani Ary Viool, Adi, serta Siska.

Selama tak kurang dari empat jam, publik yang hadir hampir sepenuhnya dijamu musik-musik balada yang bisa dikatakan sepenuhnya pula tak pernah kita jumpai di televisi kecuali di komunitas-komunitas. Tapi di sini pula kita bisa menyaksikan kepiawaian Amy bermain biola adalah kepiawaian yang niscaya, nyata, dan bisa disentuh tubuhnya kala main atau pun seusai ia bermain. Nomor "song of the wind" yang dirangkai dengan puisi Matdon dan ditutup dengan salah satu nomornya Didier Lockwood, itu terasa sekali sebagai mana requiem yang malam itu memang ditujukan bagi almarhum Wawan Juanda.

**

Musik balada sebagaimana lazimnya musik bertutur, musik yang juga bersandar kepada kekuatan kata-kata selain musikalitasnya itu sendiri; kemudian meluncurlah dari Mukti-Mukti. Seperti juga penampil-penampil lain semisal Ferry Curtis, Ganjar Noor, Egi Fedli; kekuatan lirik pada musik Mukti-Mukti terasa sekali bukan sekadar syair tempelan melainkan sesusunan struktur kata-kata yang jika dilepas dari musiknya pun bisa berdiri sendiri sebagai puisi dengan daya puitikanya.

Ini pula yang hampir tak bisa kita temukan lagi pada musik-musik sajian televisi atau pun kategori musik industri lainnya. Pada musik dan lirik yang malam itu mereka mainkan, sungguh kita masih bisa menemukan nilai, rasa betapa mulianya kata-kata, hingga kita (sebagai penonton/pendengar) bisa membangun kembali impresi bahwa betapa mulianya kita menjadi manusia. Lirik dan musik balada yang 'kuat' tersebut antara lain bisa pula kita jumpai pada nyanyian "Sahabat Cahaya" dan "Ilalang Terbakar"nya Ferry Curtis, lirik balada dengan sentuhan warna musik psychedelic terasa pula pada nyanyian "Ini Langkahku" dan "Kemuning" yang dimainkan oleh kelompok KAiYA.

**

Pengagungan kepada musikalitas, lirik atau dunia kata-kata, serta sekaligus kebersahajaan keseluruhan acara, kemungkinan besar disadari serta dirasakan pula oleh seluruh yang hadir itu menjadi semacam hymne yang memang hendak disampaikan demi menghormati almarhum Wawan Juanda (1958-2010).

Sang presiden Republic Entertaintment itu memang telah pergi, tapi malam itu pula masih dirasakan kehangatan, cinta, dan persahabatannya dengan sejumlah seniman Bandung. "Semangat almarhum sepatutnya kita lanjutkan," ujar Dadang Jauhari, adik almarhum Wawan Juanda, di awal hymne yang ternyata berlangsung sampai lebih dari empat jam tersebut.

Sepertinya kita pun menyaksikan Wawan Juanda tersenyum di alam sana, alam yang sudah terbebas dari dunia artifisial, alam tanpa kepura-puraan, alam harum mawar yang disertai lagu cinta kawan-kawannya.***

Share

    • Iyya Maliya Kang Herry Dim lewat kata-kata inilah, aku tetap bisa menjumpaimu. Membaca catatan-catatan seperti balada yang diseduhkan dengan irama.
      Puitik dan romantik.
      Salam.
      Yesterday at 02:33 ·
    • Ganjar Noor Aduh, apa yg sy rasakan dan fikirkan trtuang dalam tulisan akang.... ijinkan sy menyampaikan rasa salut kpd akang dan kawan-kawan yang berkarya karena hati dan cinta... semoga kecintaan ini terus berlangsung, terus brangsung memberikan prubahan dan makna-makna trhadap siapapun... termasuk utk Alm. Wawan Juanda yang tengah menuju cahaya surga, dan juga kpd kita-kita yg masih berlalu lalang di bumi brada ini... Smoga nilai-nilai itu smakin menebar, menjalar dan mnumbuhkan kebaikan-kebaikan......
      23 hours ago · 1 personLoading... ·
    • Ilva Effendi Singoastro Kang herry! Pasti gak tidur ya? Pulang dari acara yg nyaris lewat tengah malam langsung nulis..ckckck..si akang the hebring...Like 4 jempol ;)
      19 hours ago via Facebook Mobile ·
    • Windi Ardraprana hatur nuhun Kang..
      4 hours ago via Facebook Mobile ·
    • Bung Barnaz tajam!
      14 minutes ago ·