Senin, 19 Maret 2012

KATARUNG

Endah SrKATARUNG catatan kecil dari penikmat musik

oleh Endah Sr pada 17 Maret 2012 pukul 7:59 ·
Sudah niat nonton soloist show bertajuk KATARUNG yang infonya saya dapat dari grup Folk Mataraman Institute. Kamis, 15 Maret 2012, berangkat dari rumah jam 8 malam, sempat nyasar karena belum pernah ke Warung Kopi Omah Panggung Nitiprayan. Yang ada di kepalaku adalah rumah bertingkat di sebuah pojok prapatan Nitiprayan itu, tapi begitu lewat sana kok tidak ada tanda-tanda kehidupan ya? Ck ck ck, kurang gaul dan kurang piknik nih :) Untung ada mas-mas tengah nangkring di motor sembari sibuk dengan HP-nya, aneh juga, padahal perempatan itu relatif gelap. Daku tanya sama dia dan kudapatlah ancer-ancer  lokasi yang sudah tidak jauh lagi dari sana. Ha! Kanan jalan? Ini sudah di ujung jalan selepas Sangkring Art Space. Saya celingukan, eh itu dia ada area parkir dadakan dan lampu terang dari sebuah tempat. Ya betul, kanan jalan tapi perlu belok lagi dikit. Begitu mendekat sudah ada suara gitar akustik dipetik dan suara perempuan bernyanyi.

Bertukar cakap sebentar dengan Mas Parkir, “Sudah lama acaranya Mas?”

“Baru saja mulai Mbak. Itu baru Mbak Giana yang tampil kok.”

“Oke, matur nuwun ya Mas.”

Senangnya kalo Pak Parkirnya juga “ngeh” soal acara yang tengah berlangsung. Dari area parkir bisa kulihat show-area di lantai bawah Omah Panggung yang memang jadi ruang terbuka. Posisinya yang menjorok ke bawah alias lebih rendah dibanding badan jalan membuat orang lewat pun bisa melongok dan tahu apa yang tengah berlangsung di bangunan kayu bertingkat dua. Maka tak heran jika beberapa orang  seperti sengaja memilih nongkrong membelakangi jalan aspal menghadap titik fokus pertunjukan malam itu.

Nah, setelah say hello sama Udin dan istri yang memilih nonton dari “atas”, saya ke bawah, muter bentar untuk menuju pintu masuk. Di meja yang dijaga mbak-mbak cantik saya dapet selembar katalog yang lumayan informatif. Kursi sudah penuh terisi, jadi saya duduk di sisi kiri undakan semen bersama entah siapa cowok yang sudah lebih dulu ada di sana. Saya membagi konsentrasi antara menikmati musik Giana dan membaca katalog dalam remang. Ugh ugh, kasihan ini mata :) tapi penasaran je!
  
Apa to KATARUNG itu? Baru saja bertanya dalam hati dan menyelesaikan membaca tentang makhluk apa si Katarung ini, mas emce Darmawan Budi Suseno melontarkan tanya serupa kepada audiencesembari bagi2 doorprize. Mas Wiwit yang ternyata duduk tak jauh dari saya langsung ngacung menjawab dengan jawaban tidak sama dengan yang tertulis di katalog, tapi toh tetap dapet hadiah CD, hehe!

Kalau versi katalog nih ya… “Katarung” adalah dua frasa, antara “Kata” dan “Tarung” yang dapat bermakna: “Kata” adalah syair dalam sebuah lagu yang terungkap dalam karya, dan “Tarung” adalah sebuah ruang pergesekan dan dialektika kreatifitas kompetitif yang asyik, nyedhulur (istilah Jogja) sekaligus menjadi wadah untuk saling menjujung harkat, martabat, dan harga diri kemanusiaan manusia melalui bahasa universal musik dalam rasa dan cinta.

Ada lagi makna kedua (masih nyontek katalog nih). ‘Katarung’ juga dapat dimaknai sebagai simbol geliat kemapanan kreatifitas, kemapanan musikalitas, dan setumpuk dialetikanya, hingga kemapanan sosial yang semu. Fatamorgana kebudayaan yang bersifat massif dan terjebak ke dalam sebuah arus besar kebudayaan dunia yang rapuh, keropos dan tak mengakar ke bumi manusia.

Ya, ya, sepakat. Saya yang selama ini lebih akrab dengan musik-musik mainstream atau musik industri karena pernah memiliki cinta dan hasrat melimpah ruah ketika kerja di radio yang notabene menu utamanya adalah lagu, saat ini bersiap menyimak sesuatu yang belum akrab. Untungnya saya jatuh cinta sama intrumen gitar, jadi bisa sangat menikmati sajian malam itu dengan delapan soloist yang sudah beken malang melintang di dunia musik gerilya (pinjem istilah mas Ary Juliyant). Urutan tampil diundi, maka selepas Giana Sudaryono berturut-turut hadir  Egy Fedly, Y. Kubro, Doni Suwung, Mukti-Mukti, Untung Basuki, Ary Juliyant dan dipungkasi oleh Krishna Encik. Semua diberi jatah sekitar 20 menit dan membawakan empat lagu andalan.

Walaupun sama-sama mengandalkan gitar sebagai instrumen utama, tapi para seniman ini punya kekhasan masing-masing. Giana spesial karena malam itu dia yang paling muda dan paling cantik. Egy Fedly membawakan lagunya yang digubah tahun 1987 dan pernah menang dalam ajang lomba hingga mewakili Indonesia untuk tampil di Bangkok, tapi karyanya gak pernah masuk studio rekaman karena dia keukeuh tak mau ditawar untuk menciptakan lagu cinta lelaki-perempuan. Nuansa yang diperoleh dari menyimak Fedly adalah suasana yang rada murung. Nah, akhirnya saya bisa berganti tempat duduk karena ada kursi di belakang kameramen yang ditinggalkan penghuninya. Mak clingkrik duduk dengan manis di sana, cethoooo banget bisa menatap sang artis yang lagi tampil.

Next, Y. Kubro membawa nuansa jadul 80an di beberapa lagu, jadi sedikit “lucu” dan memancing gelak. Itu lho, inget si Obbie Mesakh kan yang kadang lagu-lagunya ada diselipin ngomyang alias ngomong sendiri? (Hihi, sori ya mas yen dipadhakke Obbie Messakh, kok mesakke men, adoooooh padahal). Doni Suwung bercerita kisah saat mencipta lagu yang akan dibawakan. Menarik, karena sisi perjalanan lantas menerbangkan imajinasi saya tentang petualangan yang asik, dari mulai sebuah pulau terpencil di Sulawesi sana hingga Belgia ketika dia merasa rindu tanah air. Binar mata Doni hidup dan riang :)

Dari Doni beranjak ke Mukti-Mukti dari Bandung. Ahay, yang membedakan adalah gebugan pelan pada gitar yang menciptakan sebentuk beat asik menyihir badan otomatis sedikit goyang. Lantas tampil Untung Basuki yang rambutnya sudah memutih, senior banget…. Sempat 3 kali ganti gitar karena masalah teknis, tapi malah menambah gayeng suasana yang semakin larut (ehem, jatah jam malam untuk anak kos sudah kelewat). Gayeng tercipta karena audience di sana malam itu juga nimbrungclometan dengan guyonan nyedulur yang njogjani. Beberapa ibu sudah mengajak anaknya pulang.

Selanjutnya Ary Juliyant yang datang jauh-jauh dari Lombok tampil memikat dengan mengajak penonton ikut hadir dalam komposisi. Mulai dari ketika memainkan “Aku Tidak Tidur, Manis” sebuah musikalisasi puisi seorang teman yang bernama Kartawijaya yang dimulai dengan menggesek senar gitar di awal pertunjukan, disambung Lamunan Stasiun Tugu diawali tiupan dua seruling kecil mirip bel kereta, dan ditutup dengan riuh riang-nya Survival. Nice perform, komposisi-komposisinya kuping-genic dan menurutku sih bisa laku lho di industri musik mainstream. Tapi toh tetap, seperti rekan-rekan yang lain Juliyant memilih brand sebagai gerilyawan kesenian. Karena sudah lewat jam sebelas, begitu usai Juliyant beberapa orang pulang, mas emce meworo-woro supaya tetap tinggal hingga penyerahan bunga kepada semua artist yang tampil malam itu, demi sebuah kebersamaan. Karena acara ini terselenggara berkat gotong royong kerja bakti banyak pihak selain seniman-nya sendiri.

Krishna Encik dengan gaya rambut rasta-nya menutup gelaran dengan 4 (empat) lagu yang sepertinya sudah dihafalkan banyak teman-teman Folk Mataraman Institute (sebuah grup di fesbuk), salah satu yang kuingat adalah Ibuku Bumi, yang pernah menjadi musik latar liputan video wartawan senior Kompas.

Nice Show kubilang, aku pulang dan merasa beruntung karena keretaku belum berubah menjadi labu. Hampir midnitebow! Kalau KATARUNG part selanjutnya digelar kembali tentu saya mengagendakan betul untuk nonton. Menurutku durasi tampilnya kelamaan ya, sebagai sebuah pertunjukan utuh kurasa ada jeda-jeda yang menelusupkan sedikit rasa bosan karena “warna” lagu yang dibawakan sang seniman adalah warna serupa, jarang ada kejutan-kejutan yang menemani keseluruhan perjalanan. Jadi mungkin bisa disiasati dengan jatah waktu tampil yang lebih pendek untuk tiap-tiap seniman, 10-15 menitan gitu, lah. Kali delapan orang ada sekitar dua jam. Cukup untuk sebuah sajian bergizi dan menarik seperti malam itu. Bravo kantung-kantung budaya Jogja yang berhasil menggelar perhelatan kolaborasi sedemikian ciamik! Menjadi salah satu alasan mengapa saya begitu jatuh cinta pada Jogja :)

Rabu, 28 Desember 2011

Agenda Rutin di Lombok

Di Warung pojok TAMAN BUDAYA NTB, setiap Selasa dan Sabtu, seniman seniman di lombok berkumpul, saling bertegur sapa kreasi lewat berbagai media : Rupa, Musik, Sastra, Teater dsb, kadang ada pemutaran Film atau sekedar berbincang berkaitan dengan kebudayaan, Siapapun dipersilahkan hadir, nimbrung atau ikut berkarya. Mau pameran juga boleh. diem membisu jg boleh. asal jangan usil. Sementara Pak Jack dan Mbak Yuni istrinya akan membuatkan Kopi istimewa, dan mie rebus yang maknyuss. Tapi Bayar ya... klo gak ada duit boleh ngutang, asal jangan sering2 dan lelet hehe. Betapa luar biasa pasangan suami istri itu,bagi para pecinta seni, mrk jauh lebih mulia dari siapapun, sebab hanya mrk yg ikhlas membantu para seniman yang lagi bokek! (emang ada seniman yang gak bokek ya? wwkkk...ah, pasti bukan di Mataram). Tenkyu Pak Jack, Bu Jack... Jasamu akan terus dikenang oleh dunia kesenian. Kopimu sungguh membangkitkan semangat dan inspirasi. Karya-karya besar lahir dari meja warungmu...orang-orang besarpun banyak singgah di warungmu. dan senyum ikhlasmu adalah kekuatan yang membangkitkan. Hidup Warung Jack !!!! Selasa kali ini 27/12-2011 Ary Juliyant Menggelar konser Gerilya Akhir Tahun di Warung Jack. Selain Membawakan lagu2 karya sendiri, ia juga berkolaborasi dengan para seniman/musisi lainnya. Malam ini menjadi Istimewa dengan kedatangan personil musik kebangkru'an dan kelompok String biola Mataram. ada juga Winsa yang baca puisi, juga qisie dan Sentot yang mendahului dengan beberapa reportoar...

Sabtu, 03 Desember 2011

BALADA PALING SEMBADA











Blantika musik Indonesia dewasa ini begitu sama dan beragam. Dari judul lagu hingga jenis musik masih  begitu saja. Paling tidak itulah kecenderungan selera musik yang lagi terjadi belakangan ini. Konon, untuk mengetahui hal apa yang terjadi pada masyarakat, maka sebuah lagu bisa jadi cerminan. Kalau saja sebuah lagu menceritakan tentang perselingkuhan, maka secara otomatis juga memang selera masyarakat seperti itu dan fenomena perselingkuhan pun memang sedang merebak. Berbeda halnya dengan music balada yang lebih menitikberatkan pada kekuatan lirik, sehingga musik dijadikan alat untuk menyampaikan sebuah gagasan. Lebih lanjut pada genre ini, seorang musisi bisa menawarkan perkara yang belum tergapai pada jenis musik lainnya untuk menciptakan perikehidupan yang lebih baik.

Demikian salah satu cetusan pemikiran  Herry Dim yang mengawali diskusi pada perayaan Hari Musik Balada 28-29 November di Kampus Unpas Setiabudi. Sebuah perhelatan yang digagas komunitas musik balada Bandung dan juga jurusan Seni Musik Universitas Pasundan telah menggoreskan semangat baru untuk lebih menghargai musik dan lebih jauh menumbuhkan kecintaan pada negeri nusantara ini. Adalah konser gerilya Ary Juliyant di kampus Unpas pada awal November tahun ini menjadi pemantik untuk sama-sama merespon geliat musik balada pada khususnya di kota Bandung yang mulai merambah tidak di satu tempat khusus saja, melainkan mulai bergerak ke segala kantong-kantong kesenian lainnya, agar memang misi tertentu tersampaikan. Karena musik balada hendaknya milik segala umur dan segala lapisan.  Berkumpullah itikad dan semangat Mukti-Mukti, Budi Dalton dari kalangan akademisi Unpas beserta Ary Juliyant sehabis konser yang terbilang penuh kesahajaan ini, untuk menggelorakan betapa musik balada seyogianya menjadi bagian yang takbisa dipisahkan dari sejarah musik Indonesia. Kemudian tanggal 28-29 November dicanangkan setiap tahunnya akan menjadi hari musik balada.

Tak ayal lagi, salah satu harapan untuk tumbuhkembangnya musik balada sebagai lahan subur penyemaian kreativitas bermusik yang lebih kuat tuangkan gagasan dapat bermunculan di masyarakat kampus. Hal ini dipertegas kembali Herry Dim dalam paparan selanjutnya di diskusi 29 November saat itu, bahwasanya music balada akan berhadap-hadapan dengan industri musik yang cenderung kapitalistik dan lebih mementingkan selera pasar, sementara musik balada tergolong musik yang memfokuskan pada keberadaan kata-kata, cerita, tuturan dan kisahan yang memang dalam hal ini sang pemusik takbisa dicerabutkan dari tempat dimana ia berkegiatan lancarkan misinya, tentu saja hal ini membawa situasi diametral dengan musik pop masa kini yang terkesan glamour dan menghebohkan. Oleh sebab pada sisi lain ada juga rombongan musik yang takpeduli pada katakata,yang penting asyik saja dalam bermusik, kemudian disebut golongan fundamental.

Di samping itu musik pada aliran balada dijadikan latar, sehingga dalam tahap yang ekstrem, jikasaja sang pemusik balada takmembawa alat musik, bahkan takmemiliki alat musik layaknya pemusik lainnya yang begitu canggih, maka ia akan menggunakan apapun saja yang ada,bahkan walau hanya sekadar menepuk-nepuk dada, takjadi masalah, lalu ia pun bernyanyi tuturkan kisahnya. Pemusik balada tidak terpaku pada musiknya, ia bebas mengeksplorasi musiknya menjadi apa dengan segala variasinya. Sebab yang paling utama adalah terpaparnya ide gagasan yang acap mengganggu kenyamanan jiwa raganya. Singkat kata, pemusik balada adalah seseorang yang berbicara tentang apasaja,apapun,yang berkaitan dengan diri dan lingkungan dimana ia tinggal, tentang segala hal yang berseliweran di muka bumi ini. Dan musik diperuntukkan sebagai medium untuk lontarkan serbaserbi kegelisahannya.

Perupa yang lukisannya pernah dipamerkan di Gedung PBB, di Genewa-Swiss, kembali menandaskan bahwa pemusik balada adalah sosok yang antimedia. Artinya tidaksuka dengan hiruk pikuk ramainya berita selibritas, tingkah polah para pesohor atau bahkan masuk media mainstream, mengingat ada idealisme yang kadang berbenturan dengan pakem pakem tertentu pada salah satu media yang ada. Atau memang beberapa media khawatir akan dituai kritik, oleh karena taksesuai dengan parameter yang sebagaimana diharapakan media termaksud. Pemusik balada tentu saja orang yang kerap bergerak dari satu titik ke titik yang lainnya, dari satu tempat ke tempat lainnya, dendangkan jerit hati masyarakatnya. Ia pun menjelma suara zaman. Walau mungkin pada akhirnya ada juga pemusik balada yang sampai juga di perusahaan rekaman besar lalu masuk televisi, seperti Iwan Fals, Franky Sahilatua,Ebiet G Ade, dll, bersama euphoria dan karismanya masing-masing yang membahana sampai saat ini, namun pastinya dengan posisi tawar menawar yang pas, antara idealisme sang musisi dengan selera industri pasar pada zamannya masing-masing.

Dunia mengenal Bob Dylan, musisi balada asal Amerika Serikat yang juga telah memberi suara bagi perkembangan situasi sosial politik di negeri Paman Sam itu, terutama pada awal 1960-an tatkala Amerika harus memerangi Vietnam dan lalu melibatkan warganya untuk turun bermiliter, Dylan lewat lagunya hendak memprotes kondisi seperti ini, dan ia berusaha memberi saran, ketika kebuntuan melanda segala komponen bangsa dan kalangan di sana untuk lepas dari kemelut ini serta bisa lolos secepatnya. Syair Times They are a-changing karya Dylan menyihir orang orang untuk lebih menghargai kehidupan atau pada lagu Blowing in the wind, bagaimana sebuah lagu sedikit banyak sudah menenangkan orang untuk lebih bijak dalam menghadapi krisis perang yang terjadi saat itu. Lagi dan lagi kekuatan lirik sang musisi balada mampu menggiring orang pada kesadaran akan pentingnya eksistensi manusia untuk memanusiakan manusia lainnya.

Kekurangsukaan dengan media mainstream ini berdampak pada jalur distribusi musik balada melalui jalur independen,dimulai dari pemilihan lagu sampai pemasaran karya album, dilakukan sendiri, jalur sendiri, selebihnya memanfaatkan jejaring sosial dan media pertemanan lainnya. Seperti juga yang dilakukan para pemusik underground, para punker, yang juga lakukan usaha seperti itu  dan atau musisi rap, hip hop, blues, reggae yang berjuang dari pinggir, para pentolannya terus suarakan nasib bangsanya, jalan hidup kaumnya, sembari terus berkesenian,tak kenal lelah, hingga sekarang musik rap dan yang sejenisnya telah mendapat tempat di hati para penggemarnya di seluruh dunia.

Berbeda kondisinya tentu saja dengan industry musik berlabel besar, perusahaan rekaman yang juga besar, promosi besar-besaran, bahkan pertunjukan musik dengan sponsor luarbiasa, setiap pemusik atau kelompok musik dikungkung sisi bisnis yang menjanjikan, meski memang persaingan di industri musik saat ini begitu sengit dan berlomba-lomba, seolah tampilkan yang paling baik. Tiap jalur musik membawa kekhasan dan cita rasa tersendiri, menawarkan gaya hidup dan mode tersendiri, tinggal bagaimana kita menentukan pilihan dan melaksanakan pilihan itu. Bukankah seseorang memiliki kebebasan untuk memilih? Sepanjang pilihan itu membawa kebaikan, termasuk dalam bermusik.

Balada lahir untuk hadirkan situasi yang bersahaja, tanpa harus terbebani oleh pemikiran yang rumit. Boleh jadi temanya besar, gagasan yang dicuatkan begitu dahsyat,  namun pemusik ini akan memilih medium bahasa dan musik yang berpihak pada sidang pendengar yang lebih pas dan taksemestinya menganiaya para penikmat dan apresiator dengan turut menambah persoalan, syukur-syukur membawa solusi. Sambil terus mengasah kemampuan bermusik sampai musikalitas balada dapat disejajarkan dengan pegiat musik lainnya. Boleh jadi balada diproyeksikan untuk jadi perangsang supaya orang lebih memahami kondisi masyarakat yang terjadi, tidak terlena oleh situasi alam yang ada, sebagai rangsangan untuk peka dan peduli dengan sesama, siapa tahu ada guna dan manfaatnya, dari hanya sekadar bermain musik saja.

Bandung dan Pemusik Balada
Bandung dari dulu sampai sekarang masihlah menjadi gudang buat lahirnya para pemusik handal, atau bisa dikatakan Bandung adalah rahimnya para pemusik yang terus bergeliat, seiring dengan dinamika waktu yang terus berubah. Semua jenis musik bermunculan dari kota ini, dari musik rock sampai dangdut terus bertumbuhan. Tak terkecuali bagi perkembangan musik balada di kota penuh catatan perjuangan ini.

Pada awal 1970-an kita mengenal grup Bimbo, Iwan Abdulrachman,Dede Haris, yang kental sekali dengan warna music balada. Barangkali situasi musik ketika itu belum sedahsyat sekarang, konon, orang yang main musik, terutama bisa main gitar, sangatlah minim. Pengaruh dari music barat tak sederas sekarang ini, kendati memang pada akhrinya musik barat telah mewarnai blantika music saat itu.

Generasi selanjutnya berlahiranlah dari kota ini ialah Doel Soembang,kemudian Iwan Fals yang turut menimba kreativitas dari Dede Haris untuk bersiteguh pada jalur musik, hingga kini Iwan Fals tetaplah diperhitungkan sebagai musisi yang kuat pada kekuatan teks dan lirik yang memukau. Hal ini diperkuat oleh Ahda Imran, seorang Penyair dan Esai juga Kritikus seni yang sarat dengan pemikiran yang bernas untuk melihat satu obyek tertentu dari sudut pandang yang berbeda. Menurut Ahda Imran, untuk membedakan seorang musisi balada dengan yang lainnya adalah dari penggunaan syair atau lirik lagu yang dinyanyikan, terlepas dari bobot syair yang tercipta itu, yang jelas syair yang didendangkan berkutat pada tema kehidupan sehari-hari dengan pilihan kata yang juga sederhana namun penuh makna, walau kadang ada metafora yang berbeda dari kebanyakan. Hingga sampailah pada satu kesimpulan bahwa lagu menjadi representasi sebuah masyarakat. Dari tahun ke tahun selalu membawa trend musik, terutama dalam khazanah musik pop, yang kadang cenderung membawa kegempitaan sesaat saja, hanya pada waktu tertentu saja, apabila waktu bergerak, bergerak pula selera yang ada, dan citarasa masyarakat bergerak dan berubah-ubah.

Satu pertanyaan yang mencuat: mengapa kita tidak mencoba menciptakan selera yang tepat di masyarakat? sehingga syair dan lagu kita tidak melulu soal asmara, dijejali dukalara karena cinta yang bikin merana dan bukankah sudah saatnya kita tidak terpenjara oleh selera masyarakat yang kadang menjerumuskan dan mematikan akal sehat? Sepertinya mengasyikan bila kita tetap pada jalur yang sudah kita tapaki dengan seyakin-yakinnya, karena manfaat terasa, jalani dengan tulus dan penuh andil.

Pada masa berikutnya lahirlah di kota bandung ini, Ary Juliyant, Mukti-Mukti, Ferry Curtis, Egi Fedly, dengan latar belakang dan disiplin ilmu yang berbeda-beda juga fokus perhatian yang juga berbeda, namun tetap membawa nafas persaudaraan dan cinta. Kedua musisi ini membawa angin baru, kesegaran yang baru, untuk lebih mencintai dan menyayangi negeri ini dengan apa yang kita bisa. Ferry Curtis turut berbicara mengenai eksistensi musisi balada bahwasanya musisi balada hendaknya memiliki kecakapan yang lebih terutama  dalam pengetahuan sastrawi, sehingga lirik yang tercipta benar-benar berbobot.

Seperti ibu yang subur, kota ini pun melahirkan generasi selanjutnya, diantaranya Ganjar Noor,Deu Galih,Rizal Abdulhadi,Panji Sakti,takhanya itu ada juga hadir dalam format grup atau band, seperti Klopas,Tjermin,Kaiya,Mr. Sonjaya,CaturPilar dan masih banyak lagi yang lainnya tanpa bermaksud mengurangi eksistensi mereka dalam berkarya, yang pasti  mereka semua sudah menapaki jalur ini baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Lantas pada 29 November itu, dari jam 10 ke jam 10 malam, di sebuah aula yang ditata teramat sederhana dengan semangat gotongroyong, semuanya sudah tampil, menyoroti apa yang harus disoroti, membidik apa yang harus dibidik, semua sudah bekerja, semua sudah berekspresi melantukan kisah muram, dongeng yang sudah lama diperam, cerita-cerita negeri yang mau karam. Surat pernyataan komitmen penetapan hari balada sudah diproklamasikan kedua unsur yang makin hirau: Unpas dan Komunitas Balada Bandung. Lagu terus bertalutalu, nyanyi terus mencoba membunuh sunyi. Balada menggiring sembada. Semoga takada lagi yang terluka di dada. Selamat Hari Balada.
            
Adew Habtsa. Bandung,Desember 2011

Senin, 31 Oktober 2011

Konser Komunitas Country & Ballad Oktober 2011










Bulan Oktober 2011, mungkin tercatat sebagai bulan yang paling 'penuh konser' bagi Komunitas Country & ballad...Tercatat Konser Ary Juliyant Folklub tour yang kali ini bertajuk 'The Troubadour trail -2', berlangsung di 5 kota sejak bulan 24 Okt - Bukit Suroloyo, Kulonprogo Yogyakarta > 26 - Warung Tutug Oncom di Jl, Jawa Bandung > 27 - Roemah Koffie Bintaro Tangerang > 28 - Ruang Putih Jl Bungur Bandung > 29- 30 - Dies Natalies MAPAK ALAM UNPAS di Cikole Lembang > 31 siang - Jatinangor Sumedang > 31 malam - Monday Blues, Ruang Putih Bandung > Nov 1 siang - kampus UNPAS jl Setiabudhi Bandung > 1 malam - JAF Jatisura Jatiwangi > 2 - Desa Jatitujuh Majalengka > 3 siang - kampus ISI Solo > 4 - .Pada Tanggal 28 Oktober juga merupakan Konser Launching album 'REBOISASI JIWA' Klopass di Kebun Seni Bandung....

Egi Fedly,'masih adakah' live & recorded.wmv

Kamis, 20 Oktober 2011

Komunitas Country&Ballad di Braga Festival 2011

Ke ikut sertaan Komunitas Country&Ballad di Braga Festival tahun 2011 ini merupakan Penampilan pertama di ajang ini, tidakmain main, Komunitas Country&Ballad tak hanya mengisi acara yang berlangsung di gedung New Majestic saja, Pada malam hari di panggung bundar tampil Musikalisasi Puisi dari Anggie Sri Wilujeng, dengan membacakan puisi puisinya dan juga dimusikalisasi oleh Mukti Mukti, Ganjar Noor , Asep Doel dan Egi Fedly,  pada harinya dipanggung yang lain Sisca Guzhenk bersama Ary Tretura tampil menyuguhkan kolaborasi cantik, melalui Guzhenk dan Biola, Sementara Sehari sebelumnya Mukti Mukti memberikan penampilan Perfomance unik yang menghentak pengunjung, dengan Menyanyi dan Berdoa diatas atap Gedung Hotel....menjelang Matahari terbenam....

Tanggal 24 September 2011, merupakan hari terakhir dari rentetan acara yang berlangsung dalam Agenda rutin Braga Festival yang diselenggarakan disepanjang Jalan Braga Bandung dalam rangka memeriahkan ulang Tahun Kota Bandung. Kali ini Komunitas Country & Ballad yang biasa mengisi acara rutin bertajuk Bumi Sangkuriang Country&Ballad, di Bumi Sangkuriang sejak November 2010, mendapat kesempatan memeriahkan ajang Braga Festival ini.
Mengambil tempat di bekas gedung Bioskop DEWI atau yang juga dikenal sebagai Bioskop Mayestik pada tahun 1980an... dan saat ini bernama NEW MAJESTIC, Pentas Country&Ballad pun digelar,mulai sejak pukul 1 siang berlangsung hingga mendekati azan Magrib. Dipandu Mc Adew Habtsa yang tampl bergantian dengan Mukti Mukti dan Egi Fedly.
Penampilan Komunitas Country & Ballad berlangsung meriah, seluruh bangku penonton pun padat terisi bahkan menjelang sore, sebagian penonton duduk memenuhi lantai depan Panggung....Dengan Sound System tertata baik, satu persatu Kelompok naik keatas Panggung, mulai dari Yuki& G Brut, Kapak Ibrahim, Ganjar Noor, Ferry Curtis,Sunek,Ato Baramaen, Mukti Mukti, Egi Fedly, Rizal Abdulhadi,Ary Piul Tretura, Sapto Ajie, Galih, Tjermin, Laken, The Daltons,Mr Sonjaya tampil dengan warna musik masing masing, sebagian tampil berkolaborasi saling mengisi...memuaskan selera Penonton....


Agenda Oktober2011

AGENDA OKTOBER 2011