Senin, 22 November 2010

Jalan bagi Pergaulan di Kancah Global

by Herry Dim on Monday, 22 November 2010 at 17:48
(kertas pengantar diskusi worldmusic)

Catatan: Herry Dim

Freedom! Progressing is in the world of art as in the mighty creation the purpose. There is no rule in art that could not be superseded by a higher one. …further reveal the higher and true field of art and to transfer yourself further and further up into art's heaven!
Ludwig van Beethoven

Hey Kabayan, hirup mah durang duraring, atuh da bongan boga hariring. Hirup mah during durirang, da bongan boga haleuang. Heuheuy hoyah, hirup mah ngagebah susah.
Mang Koko – gending keresmen Si Kabayan 

Kita duduk bersama-sama di sini persis sehari menjelang berlangsungnya “Monju West Java World Music Festival (MWJWMF)” selama dua hari, 19 – 20 November, di sini, di area Monumen Perjuangan, Bandung. Adakah besok itu sekadar seperti umumnya terjadi yaitu kenduri pertunjukan musik dan setelah itu bubar? Atau jika diubah pertanyaannya, apa kepentingan worldmusic bagi konstelasi kebudayaan kita?
Jawaban atas pertanyaan seperti itu, seyogianya muncul dari penyelenggara yaitu Dinas Pariwisata dan Budaya (Disparbud) Jabar dan terutama dari “otak” di balik berlangsungnya MWJWMF. Itu pun jika suatu peristiwa hendak ditempatkan menjadi peristiwa budaya, suatu perjuangan panjang untuk mencapai perbaikan, dan pada akhirnya mendirikan kebudayaan baru yang lebih sehat, hadir di tengah peradaban baru, dan diapresiasi oleh publik dengan sepatutnya.
Hal di atas dikemukakan di awal catatan mengingat gerakan worldmusic di satu sisi sesungguhnya memiliki fungsi strategis bagi ‘nasib’ sejumlah musik etnik kita, bisa menjadi jalan bagi ‘pergaulan baru’ di dalam kancah global, dan tak dimungkiri memiliki daya bagi kepentingan pariwisata.  Tapi di sisi lainnya, sekaligus demi tercapainya hal yang strategis tersebut, menjadi mungkin jika suatu peristiwa itu ditempatkan di dalam kerangka kebudayaan; tidak semata-mata ditempatkan sebagai ‘kariaan’ melainkan tempat berlangsungnya kecendekiaan.

**

Tapi marilah kita lupakan hal yang luput atau tak tergarap oleh “otak” MWJWMF tersebut, kini selintas kita coba menyimak sisi penting worldmusic.
Di tengah kehidupan kita sendiri amat sering kita dengar percakapan warung kopi hingga ke forum-forum akademik yang antara lain membincangkan betapa tersisihnya seni etnik di hadapan seni industri. Jauh lagi ke belakang, sejarah kebudayaan (musik) secara global seolah telah terpaku kepercayaannya dengan keyakinan bahwa puncak-puncak pencapaiannya berada di masa baroque, roccoco, hingga klasik. Itu sekadar untuk menggambarkan bahwa di dalam masa berabad-abad diyakini hanya ada satu arus besar di dalam kebudayaan musik, sementara yang lainnya (the other) itu adalah hal lain sebagai sampiran dan bahkan dianggap tidak ada. Sesungguhnya hal atau logika ‘arus besar’ tersebut sebetulnya berlangsung pula di wilayah politik dan ekonomi, masa kolonialisme dan penjajahan adalah salah satu saja dari citra umum tentang dunia masa lalu tersebut. Konsep imperialisme, istilah halusnya di kemudian hari menjadi persemakmuran (commonwealth), yang berkeyakinan mesti hanya ada satu-satunya kekuatan yang mengikat sekaligus memegang otoritas mengatur bagian-bagian kecil lainnya, adalah ciri lain dari logika arus besar tersebut. Manakala prinsip-prinsip kapitalisme muncul sejak kapitalisme awal (early capitalism) hingga moda kapitalisme ke-3 (third capitalism) sekarang ini, logika penguasaan arus besar menjadi beralih di tangan kekuatan modal. Jika pada kapitalisme awal jelas di dalamnya hingga menghalalkan pemerasan dan penindasan umat manusia, pada kapitalisme ke-3 di samping pembesaran modal yang multi-gigantik adalah juga penguasaan teknologi, perangkat dan teknologi informasi; alat main berkutnya adalah juga ‘mempermainkan’ wilayah hak cipta (copyright) yang cenderung hanya berpihak kepada perlindungan modal mereka ketimbang perlindungan ‘bagian-bagian kecil’ tadi. 
Worldmusic, dengan terang-terangan atau pun lebih seringnya dengan terselubung, sesungguhnya telah menjadi jalan perlawanan (counter culture) terhadap Goliath arus besar. Awalnya serba alamiah, naluri keinginan bangkit dari setiap puak, etnik, bangsa-bangsa dengan cara dan gayanya masing-masing. Disebabkan sifat alamiahnya, maka pada awalnya pun berjalan masing-masing. Namun, sesungguhnya sejak mulai ditemukannya radio dan semakin canggihnya transportasi pesawat terbang, kesalingterhubungan antara satu puak dengan puak lainnya menjadi amat mungkin terjadi. Belakangan, dengan munculnya teknologi internet, hubungan antar-subjek (inter-subject) kebudayaan tersebut menjadi semakin dekat dan semakin intens lagi.
Adapun kemudian ada semacam klaim bahwa istilah worldmusic itu digelindingkan oleh Robert E. Brown, seorang etnomusikolog dari Universitas Wesleyan, Connecticut, AS; sebagai kenyataan ‘rasa ketertindasan’ dan kehendak untuk melakukan perlawanan terhadap arus besar, itu sesungguhnya (seperti diurai di atas) telah berlangsung cukup jauh sebelumnya dan nyaris pula merata dirasakan oleh berbagai etnik dan bangsa-bangsa di dunia. Dari kalangan klasik sendiri bahkan telah menyadari bahwa tidak ada kelas seni dalam pengertian yang satu ‘tinggi’ dan lainnya ‘rendah,’ seorang Beethoven, misalnya, menyatakan “there is no rule in art that could not be superseded by a higher one.” Sebab setiap etnik dan bangsa-bangsa itu memiliki ‘hariring’ (nyanyian) atau kebudayaannya sendiri-sendiri yang sesungguhnya tidak bisa dibanding-bandingkan dengan cara lihat ‘tinggi’ dan ‘rendah.’ Mang Koko dengan bahasanya di dalam salah satu nyanyian ciptaannya menyatakan “hirup mah durang duraring, atuh da bongan boga hariring. Hirup mah during durirang, da bongan boga haleuang.”
Maka, dalam satu sisi, worldmusic itu bisa dikatakan sebagai gerakan perlawanan, suatu upaya menggugat dengan cara tidak mengepalkan tinju atau melempar batu melainkan dengan fitrahnya yaitu jalan musik yang kemudian ternyata ‘berkoloni’ di dalam jejaring bangsa-bangsa hingga kemudian menemukan istilahnya worldmusic. Oleh karena itu pula maka, energi di balik (beyond) peristiwa musiknya itu sendiri, yang kerap muncul menyertai gerakan ini adalah isu-isu sekitar persahabatan/persaudaraan, kesetaraan, kemerdekaan, perdamaian, kemanusiaan, dan kemudian sangat santer bicara pula ihwal lingkungan hidup.    
Kepentingannya, bagi kita, pertama bisa melihat bahwa ‘keperihan budaya’ itu ternyata tak dapat ditanggung sendiri-sendiri melainkan perlu adanya semacam sistem jejaring yang tak perlu menjadikannya seragam melainkan tetap di dalam keragaman, saling menghargai, setara, sehingga segenap yang semula tersembunyi karena terkubur arus besar itu menjadi memiliki ruang aktualisasi, hadir, dan sederajat. Sisi lainnya, yang perlu pula kita sadari, bahwa nasib ketertindasan seni etnik/tradisi itu ternyata tidak sendiri, melainkan ‘banyak teman’ karena terjadi serta terasakan di mana-mana di lingkup global ini.

**

Sadar atau tidak kita sadari, bersama peristiwa Woodstock 1969, munculnya gerakan Dadaisme, hingga pemikiran-pemikiran sekitar partispatoris, emansipatoris, kesetaraan yang disuarakan kalangan pasca-modern; saat itu sudah mulai diimpikan untuk hadirnya dunia baru yang lebih basajan, kembali ke alam (back to nature), merdeka, demokratis, serta saling menghargai. Semangat inilah yang kemudian membayang di berbagai gerakan worldmusic. Bentuk umumnya bertebar dalam pola festival seperti di antaranya adalah Ariano Folkfestival, festival worldmusic selama lima hari di Ariano Irpino;  California World Music Festival di pedesaan Nevada; World Sacred Music Festival di Olympia, Washington; WOMAD Foundation yang menyelenggarakan festival-festival di negara-negara seluruh dunia;  Starwood Festival sejak 1981; Festival de l'Inde di Evian, Haute-Savoie, Prancis; Mawazine, festival worldmusic di Rabat, Moroko, kini telah menjadi ikon musik internasional ala Arab; Svirzh World Music Festival di wilayah Lviv, Ukraina; Festival Músicas do Mundo, di Sines, distrik Setúbal, Portugal; dan lain-lain dalam jumlah yang masih banyak.
Kelak, jika MWJWMF mampu berjalan secara berkala, tak terlalu jauh bagi kita untuk membayangkan bahwa di kemudian hari peristiwa di kota Bandung ini menjadi bagian pula dari persitiwa pergaulan dunia. Jika peristiwa ‘kariaan’ tersebut selanjutnya mampu pula berjalan dengan menghargai ‘kecendekiaan,’ optimis pula bahwa di kemudian hari sejumlah seni tradisi yang kita miliki bisa mulai ‘bunyi’ dan ikut ‘berbicara’ di kancah dunia. Adapun seperti kita rasakan saat ini bahwa publik dan mediamassa cenderung seperti masih a-priori, bukan tidak mungkin pula pada waktunya nanti berbalik untuk ikut serta mengapresiasi. ***

(Herry Dim, pelukis, pekerja teater, pecinta/penulis bahasan musik, tinggal di Cibolerang)




=naskah ini disampaikan pada dialog pra-event West Java World Ethnic Festival, 18 November, Ruang Dalam Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, jl Diponegoro 9, Bandung.

Penampilan Hari Pochang dan Collin Bass pada alah satu peristiwa "Monju World Music Festival 2010" (foto: Martha Topeng)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar