Sabtu, 18 Juni 2011

BALADA MUKTI MUKTI

 Inilah medio Juni. Kemarau telah tiba. Panas menyergap. Hawa dingin malah menyerang setiap kulit dan dada. Di kafe Gedung Indonesia Menggugat bersama IM Books, sehabis siang yang menyiksa, kita berkumpul lagi, bercerita lagi, memperkuat bahwa manusia adalah makhluk yang senang bertutur dan berkisah, tentang apapun, perihal apasaja. Homo Faboulan begitu filusuf menyebutnya.  Adalah Mukti-Mukti (MM) yang diminta bercerita, kena giliran untuk tuturkan segenap kisah, tentang masalalu dia, gitarnya, kekasihnya danharapan-harapannya beserta wejangan berarti tentang perikehidupan ini, khususnya bagi siapapun yang hendak menapaki musik balada sebagai jalan hidupnya.

Pada permulaan, dengan penataan kursi dan meja yang sederhana, dihadiri  sejumlah peserta diskusi seadanya saja, yang memang ingin sama-sama mendengar dan menanyakan keberadaan komunitas dan musik balada, takketinggalan secangkir kopi turut menemani petang yang menantang. Selanjutnya, MM berujar bahwasanya musik adalah musik,dan musik  balada bukanlah musik 
semata, ia lebih melihat pada sosok pemusiknya atau musisinya, sebab musisi balada acapkali berjalan dan bertualang dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu peristiwa menuju peristiwa yang lainnya dan lalu mengekalkannya dalam satu karya lagu. Apa pasal? Musisi balada adalah sosok yang begitu mencintai dan menyayangi negaranya. Demikianlah MM beropini.

Selain itu, musisi balada diupayakan adalah orang yang mampu mengenal masyarakatnya dengan baik. Segala masyarakat tentu saja, dengan hirukpikuk yangmenyertainya, termasuk latarbelakang sosial, pekerjaan, gaya hidup dan nasib masyarakat, sudah semestinya sang musisi ketahui dengan baik. Meski memang ia tidak dikenal oleh masyarakatnya, setelah karya musik itu berlahiran. Tentu saja hal ini berbeda dengan musisi pop dan rock barangkali, orang-orang pun mengetahuinya, oleh karena peran media telah berbicara disana. Wajar bila ketenaran dan keberlimpahan materi direguk para musisi pop-rock masa kini.

Sekali lagi, boleh jadi musisi balada tidak diketahui oleh masyarakatnya, tetapi dia sangat hirau dan peduli atas apapun yang terjadi dengan masyarakatnya, karena ia telah menjadi bagian dari masyarakatnya, secara otomatis ia pun merasakan apa saja yang dirasakan oleh masyarakatnya.  Tersebutlah masyarakat buruh, tani, nelayan dan lain sebagainya, yang bertebaran di muka bumi ini, terus gelisah dan resah melihat ketimpangan, diperlakukan tidakadil oleh penguasa dan sederet kasus tanah lainnya.  Hingga pada akhirnya MM menyadari itu, dengan kesadaran penuh ia terjun dan berbaur bersama masyarakat, menggerakkan masyarakat, semampu yang dia bisa.

Dari paparan MM di atas selintas kita menangkap kelucuan sekaligusi hebatnya musisi balada,dalam takaran yang tepat, betapa tidak MM telah diuntungkan dengan semua peristiwa yang terjadi, dan perkara ini pun diamininya bahwa ia pun begitu gandrung dengan cerita-cerita yang kerap berseliweran, begitu keranjingan dengan peristiwa yang mencuat ke permukaan. Lantas ia tangkap dengan sepenuh hati, sebebas jiwa, sebagai awal dari proses kreatif penciptaan karya musik dan lagu. Rupa-rupanya ada peristiwa yang terus mengental di kepala, dan ingin segera MM muntahkan pada sehamparan komposisi musik dan lagu.

Kendati memang ada seorang muda dalam diskusi itu bertanya: kenapa MM masih setia dengan musik Balada, padahal genre ini tidak menjanjikan materi dan popularitas yang ramaikan dunia, ya MM telah memilih jalan sepi, jalan yang teramat sunyi, jawaban yang sangat menohok dan tajam bagi seseorang yang kukuh pada pendirian dan pilihan hidup, apalagi dikuatkan dengan kecintaannya  pada cerita-cerita dan rintih suara dari seluruh masyarakat dengan suka dukanya. Namun sesungguhnya MM tidak memprokalamasikan diri sebagai musisi balada, atau seseorang yang menggeluti genre balada, itu semua adalah hak pendengar, wewenang sidang masyarakat apresiator, bebas terserah orang akan berkata apa, begitu MM berkilah, walau memang di negeri ini hampir takada kritikus musik yang mumpuni di bidangnya, hingga bisa memberi tanggapan bermakna terhadap setiap penciptaan karya musik dari setiap pemusik balada pada khususnya.

Selepas duduk dari bangku SMA, MM mulai belajar main gitar, bersama seorang pemusik bernama Amy dari Kota Bandung, pentolan grup musik 4 Peniti. Seiring dengan dinamika jiwa mudanya dan rasa keingintahuan yang besar pada lakulampah manusia, MM pun mulai beririsan dengan musisi lain yang lebih senior dan punya nama besar, terutama dalam karya. Sebut saja Dede Haris, yang juga merupakan guru dari Musisi karismatik Iwan Fals. Inilah yang telah memberi warna tersendiri sekaligus catatan berharga untuk perkembangan sejarah musik balada beserta geliatnya di Kota Bandung. Ada satu nama lagi yang masih beririsan dengan MM yakni Abah Iwan Abdulrachman  juga menjadi motor insprisai bagi musisi lainnya seperti Harry Pochang, Harry Rusli, Elly Sunarya, Rita Rubi Hartland dll untuk hadirkan warna musik balada dengan segala progresivitasnya. Beberepa nama tadi telah mewangi dalam kancah musik balada di kota Bandung sampai pula merajai musik pop Indonesia pada zamannya. Apatah lagi bila kita menyimak kiprah kelompok musik Bimbo di awal tahun 1970-an, bagaimana kekuatan lirik yang apik dan musik yang memukau telah memberi nuansa yang lain dari lain ketika itu. Bahkan Doel Soembang pun telah harumkan kota ini dengan musik balada pada awa-awal karinya bermusik, dengan lirik nakal dan menggelitik.

Dari kota ini pula perkembangan musik mulai menggeliat dan mencuat, seperti akan taklukkan dunia, sebut saja grup Babadotan, didirikan langsung oleh Iwan Fals, Egi Fedly, dll, di akhir tahun 1970-an, cukup memberi gebrakan pada aliran musik ketika itu yang sedang dirundung pop yang mendayu-dayu, namun kelompok ini tak berumur panjang, walau memang pentolannya telah menorehkan sejarah paling bermakna dalam perkembangan musik Indonesia. Dan MM terus beririsan dengan musisi-musisi besar tadi, berinteraksi intens karena berada dalam lingkaran itu, kendati memang ia pun lebih memilih di jalur independen dalam bermusik, tidak  tergiur untuk masuk ke lebel besar, karena satu alasan yang kuat untuk lebih fokus pada misi dan visi hidupnya untuk lebih berarti bersama masyarakat, akan tetapi MM tidak menjelekkan mereka yang telah menapaki jalur industri musik, karena itu pun lahan yang tepat bagi siapapun yang memiliki skill serta misi yang cerdaskan bangsa.    

Asal tahu saja MM ternyata di awal-awal bermusiknya begitu menyukai grup band Rush yang mengusung classic rock dengan nuansa eropa yang sangat kuat, dengan suara vokalisnya yang melingking tinggi. Ia pun mengagumi sosok Bob Dylan, meski memang ia justru merasa tabik pada gurunya Bob Dylan yakni Roy Harper, musisi kebanggaan Inggris, dari sosok  Roy Harper telah bermunculan pula musisi yang terdidik dengan rapi seperti Kelompok Musik Led Zepplin,Pink Ployd dll. 

Pada tahun 1987-1990, MM memasuki dunia kampus, meski takberjalan mulus, karena ia lebih mencintai negerinya dan barangkali takmau lama-lama memakan bangku kuliahan. Pada tahun 90-an kembali ia kuatkan komitmen terhadap masyarakat, mulai bergabung bersama rakyat, menjelma demonstran. Ada nama Wiji Thukul, penyair sekaligus aktivis buruh, sempat juga MM berinteraksi dengannya, kuatkan kesadaran bahwa rakyat harus dibangunkan dari tidur panjangnya, karena mimpi buruk tentang negeri ini terus menghantui.  Sampai pertengahan tahun 98 ia mulai merangsek, menggelorakan pergerakan agar wajar ibu pertiwi kembali tersenyum manis lagi. Lagu-lagu perjuangan, cinta, kemanusiaan, lebih jauh lagu pemberontakan terus berkumandang dari masa itu. Salah seorang sahabat kental MM, Kang Ncep memberi testimoninya bahwa musik MM tidaklah keras, tapi memberikan citarasa perlawanan yang kuat kuat, begitu ucapnya. Nyanyian MM telah merupa teman yang paling setia ketika demonstrasi yang sengit dan sehabis unjuk rasa yang makin merana saja, maka MM hadir dengan lagunya yang menyejukkan sekaligus menghangatkan suasana, seperti nyanyian pelepas lelah diantara kalangan aktivis-demonstran saat itu.

Salah seorang kawan bertanya tentang Hari Musik Balada, MM memberi penjelasan bahwa hari itu jatuh pada setiap tanggal 27-28 November, setiap tahunnya dirayakan di berbagai tempat yang sudah diagendakan sebelumnya. Peringatan hari musik balada ini tabisa dilepaskan dari nama Ary Juliant, sosok musikus troubadur asal Lombok, namun lama juga di kota Priangan ini, bergiat juga di lapangan sosial, sekira tahun 1999-2000 kedua musisi ini mulai memperkuat frekuensi pertemuan, berkarya, berkolaborasi lahirkan komposisi, sembari tetap menyuarakan cinta, kepedulian dan kemerdekaan dalam berbuat dan bertindak. Hingga sampai pula pada lahirnya komunitas Balada dan Country di Bumi Sangkuriang Ciumbuleuit, atas prakarsa kedua musisi ini, dan yang takboleh dilupakan juga peran Egi Fedly dan Windi Ardraprana dalam menghidupkan kembali semangat bermusik di kota Bandung ini, dari komunitas ini bergiatlah nama-nama Ganjar Noor, Ferry Curtis, Cikruh, Rizal Abdul Hadi, Deu Galih, Kaiya dll, meski memang mereka punya ceritanya masing-masing dalam menapaki jalur bermusik yang beragam dan dinamis ini. 

Kurang lebih 500 lagu telah tercipta dari MM, semenjak 1987, dari gitar kayunya, dari resahnya, dari ketegasannya, dari keteguhan pikirannya. Ada lagu yang paling berkesan baginya yakni ‘Surat buat DP”, inilah lagu untuk kekasihnya yang sejati. Ditambah lagi dengan lagu yang berkaitan dengan masa lalunya, ingin selalu dikisahkan kepada siapapun, dibagikan kepada khalayak pendengar, agar makin mengena segala rasa. Sampai detik ini MM terus berbagi dalam berkarya, bergerilya dari komunitas ke komunitas lainnya lewat musik, lirik dan lagu. Petang menghilang, sebentar lagi malam, MM kembali ingatkan kita bahwa takada yang bisa mendeteksi  kecuali jiwa, dan takada yang paling berharga dari hidup selain doa.  Mari kita berontak untuk sesuatu yang lebih berarti.
Bandung, 18 Juni 2011 

Kamis, 16 Juni 2011

SEHABIS ‘Another Taste’

SEHABIS ‘Another Taste’
Sehabis Another Taste
Adew Habtsa

        Kadang uang takmenjadi penting. Apalagi penonton. Yang penting ada rasa yang berbeda. Muncul suasana yang lain. Bangkit selera yang juga beda. Lahir kebersamaan. Pertunjukan Country& Ballad Bumi Sangkuriang tempo hari tidak lagi di Ballroom, sesuatu telah terjadi di sana, mungkin akan ada perbaikan yang lebih menyenangkan dan memukau secara tempat. Pertemuan semalam berlangsung di Concordia Room, lebih syahdu ternyata, meski tempat takseluas yang biasa terjadi, namun tertangkap kesan guyub, akrab, kursi rapi berjajar, dibungkus kain putih, cukup untuk beberapa orang saja. Bukankah jumlah manusia dalam perhelatan ini kadang tidak terlalu menjadi penting?

         Suara soundsystem bagus tertata, menggelegar, dibuat cocok untuk ruangan seperti ini. Tenang dan   lengang. Satu dua orang mulai memasuki ruangan. Lampu agak temaram, kondisi tata lampu yang seadanya saja, tapi asyik. Ada iringan lagu mengentara ke seantero ruangan, jelas, itulah suara anak negeri dendangkan kerinduan pada negeri yang sudah mestinya dirindui sekaligus dicintai, tak hanya itu musik pengantar yang lain dari suara berbahasa asing mulai hinggap di sebagian pengunjung. Termakan bengong, tersiksa rasa dingin, dan juga senyap, namun lagu itu telah merebut tenang. Taksabar ingin segera nikmati pertunjukan yang konon akan  tawarkan rasa yang berlainan.

        Setelah dirasa tepat dan waktu malah terus merambat, pembawa acara mulai berkata, bahwasanya sudah saatnya kebersamaan dalam gita, dalam cerita digelindingkan lagi. Lagu kebangsaan Indonesia menggema, hendak menusuk di dada kita dengan sedikit kebanggaan pada bangsa, Mukti-Mukti menjelma Pengarah Lagu. Hadirin turut bernyanyi, lantang, berharap tumbuh rasa cinta tanah air, mekar di dada. Berlanjut pada doa dan pengharapan, Sapei Rusin merupa Kyai atau seperti Pemuka Agama lainnya yang sedang menggiring jamaah ‘Kantriiyah dan Baladiyah’ untuk segera membaca diri, haturkan rekes, berpartisipasi galang kekhusyuan,membunuh sepi, mengusir rasa sakit, dan terapkan kesabaran pada setiap cobaan yang menerpa segenap saudara sebangsa jua kawan senasib.

        Sontak saja, kita semua didatangi rasa yang sudah kadung dijanjikan, entah rasa apa yang akan terpapar, lewat musik  dan lagu tentunya. Akan tetapi kita sedang menunggu, seperti  di sebuah stasiun, menunggu kendaraan. Makin taksabar untuk segera nikmati perjalanan. Empat nama kendaraan sudah tercantum. Mereka siap hidangkan panorama rasa, apakah akan bercerita lagi tentang kematian, sepaket dengan kehidupan beserta hiruk pikuknya. Tiba-tiba kita semua diboyong untuk masuk kendaraan tahun 60-an, sebut saja kendaraan itu bernama Ranha&The Siberian Husky, meliputi lima pria dewasa dan matang. Sepintas tampilan mereka seperti pejabat, taknyana bermain dengan skill hebat. Perjalanan kendaraan melaju kencang, menghentak, nada meninggi, betapa tidak, The Beatles dengan sederet tembang hitsnya telah menggoyangkan sekujur tubuh. Sebagian bergerak,vsebagian bergoyang dan bernyanyi semampu yang kita hafal. The Beatles memang sudah beres berkarya, tinggal kita sedang menunggu giliran berkarya selanjutnya.

         Di halte itu kita berhenti, rasanya kendaraan harus berganti, ada penampilan lain, katakan saja kendaraan itu bernama Dima Miranda, beliau hendak mengajak kita menikmati alunan ritmis nan puitis, ini bukan persoalan yang membawa kendaraannya adalah sosok perempuan, begitu lembut dan kadang merayu, suaranya memesona, panorama kepedihan hidup, rahim yang bicara serta sederet potret keprihatinan bangsa ini terekam dalam lagulagunya. Kita terbuai, semuanya barangkali. Semoga begitu kiranya makin tergugahkan dengan citarasa yang berbeda. Apalagi sisi kewanitaan muncul tentang rasa cinta pada lawan jenis jua apakah nanti rasa cinta itu akan berakhir di Pelaminan. Tanda tanya besar. Semua orang hampir gelisah memang untuk memasuki eposide pelaminan, takterkecuali para penumpang yang duduk melulu sendirian di perjalanan malam itu. Alunan gitar barangkali takcukup, penumpang yang gelisah itu pun merasa terpanggil, tampillah Egi Fedly mainkan harmonika dan kahon, Aryi Piul Tretura gesekan biola, dan Ibrahim Adi Surya takmau ketinggalan memetik dawai gitarnya. Dan lagu-lagu sepertinya takmau berhenti, perjalanan mengasyikan dan menyenangkan, ada pemandangan yang berbeda dari sebelumnya, lebih kuat keindonesiaannya dan kuat pula keutuhan karya Dima Miranda.

          Di persimpangan, perlu juga rehat, sesaat saja, kendaraan berganti, pengendara itu bernama Rull Darwis dan The Undercover , namanya kebarat-baratan tapi bukan produk barat, biar go internasional harapannya mungkin, lelaki yang sudah cukup umur ini berasal dan berdomisili kini di Depok sengaja mendatangi pertemuan ini untuk sumbangkan suara permatanya, dan lirik lagunya yang juga go internasional, seperti hendak berkata kepada dunia tentang perkara negeri ini yang -membutuhkan perdamaian, kedamaian dan hal-hal lain yang melingkupi rasa damai. Hanya menyebut satu judul saja,lagu lalu dimainkannya. Petikan gitar hadirkan juga panorama yang berbeda, tampak natural, meski bahasa ini makin asing saja di telinga. Namun kita menangkap rasa prihatin atas apapun yang digelisahkannya tentang kehidupan serta apasaja yang menyertainya, karena bahasa dan musik sudah menjadi rasa yang teramat global ataupun universal. Takketinggalan Asep Doel tampil berharmonika masih dengan topi laken, jaket kameumeutnya, makin cowboy saja. Temani Rull Darwis yang mengiris batin kita dengan komposisi paling apik. Sekali lagi, ada rasa yang berbeda akhirnya.

         Tampaknya kita sudah mendekati akhir perjalanan, malam makin malam, berita akan terjadi gerhana bulan membahana, satu peristiwa alam yang lumrah terjadi. Tanda kekuasaan Tuhan Yang Mahagagah dan juga Mahapuitis. Perjalanan makin berisi saja, sebab kotak kencleng harus diedarkan,walau uang bukan segalanya, tetapi kadang tanpa uang tidak jadi segalanya. Tidakkah sebelum perjalanan ini dimulai, nasi goreng dan kopi telah penuhi lambung kita,nikmat dan segar, cukuplah bagi kita biar tegak segala tubuh, segala nyanyian dan semua tarian.

         Di ujung perjalanan, hadirlah Red Peanut, menyajikan tembang rock lawas, era 70-an,80-an dan 90-an, lewat The Roling Stones, Deep Purple, Bon Jovi,dan yang serupa dengan itu, mereka menyegarkan kembali suasana, menghentak kesyahduan momen sebelumnya, kita dihisap gegap gempita, kembali berjingkrak, atau mencoba hadirkan gaya baru tarian yang biasanya dikomandoi Ari Piul Tretura, bagaiman tidak akan menarik kita, penampilan grup ini telah menyihir orang untuk bergoyang, dimulai dari penampilan vokalisnya yang bersuara prima, gitarisnya yang atraktif dan eksentrik, meski memang telah datang pula penggebuk drum dadakan,inilah Dony Dombis, karena satu dan lain hal Drummer grup The Red Peanut berhalangan hadir.

         Yang takkalah seru dan memukau adalah ternyata The Red Peanut membawakan single album mereka karya dari Musisi kebanggaan kita, Mukti-Mukti, yang berjudul ‘Mencari matahari’, dengan aransemen  yang energik dan variatif, lebih cadas, semacam slow rock dengan nuansa sound rock 80-an, barangkali mereka terpengaruh oleh grup seperti itu,  hingga nampaklah perpaduan yang apik dan ciamik antara lirik lagu balada yang sarat makna dengan besutan komposisi lagu yang keras dan lugas. Patut kita apresiasi dengan baik, mengingat lirik lagu yang muncul di blantika musik pop-rock hari ini cenderung dangkal dan kurang mengarah pada substansi persoalan hidup yang sudah semestinya saling mengingatkan untuk tumbuhnya kesadaran berjuang, memperbaiki nasib diri.

           Sesampainya di perjalanan, bubarlah orang-orang, menuju rumahnya masing-masing, berharap membawa oleh-oleh, baik itu berupa tanya yang membuat kita makin kritis pada keadaan  sekitar maupun rasa yang wajib dipupuk untuk lebih berempati dan peduli, di samping kegembiraan hati dan bertambahnya skill bermusik kita.

Bandung, 16 Juni 2011