Senin, 19 Maret 2012

KATARUNG

Endah SrKATARUNG catatan kecil dari penikmat musik

oleh Endah Sr pada 17 Maret 2012 pukul 7:59 ·
Sudah niat nonton soloist show bertajuk KATARUNG yang infonya saya dapat dari grup Folk Mataraman Institute. Kamis, 15 Maret 2012, berangkat dari rumah jam 8 malam, sempat nyasar karena belum pernah ke Warung Kopi Omah Panggung Nitiprayan. Yang ada di kepalaku adalah rumah bertingkat di sebuah pojok prapatan Nitiprayan itu, tapi begitu lewat sana kok tidak ada tanda-tanda kehidupan ya? Ck ck ck, kurang gaul dan kurang piknik nih :) Untung ada mas-mas tengah nangkring di motor sembari sibuk dengan HP-nya, aneh juga, padahal perempatan itu relatif gelap. Daku tanya sama dia dan kudapatlah ancer-ancer  lokasi yang sudah tidak jauh lagi dari sana. Ha! Kanan jalan? Ini sudah di ujung jalan selepas Sangkring Art Space. Saya celingukan, eh itu dia ada area parkir dadakan dan lampu terang dari sebuah tempat. Ya betul, kanan jalan tapi perlu belok lagi dikit. Begitu mendekat sudah ada suara gitar akustik dipetik dan suara perempuan bernyanyi.

Bertukar cakap sebentar dengan Mas Parkir, “Sudah lama acaranya Mas?”

“Baru saja mulai Mbak. Itu baru Mbak Giana yang tampil kok.”

“Oke, matur nuwun ya Mas.”

Senangnya kalo Pak Parkirnya juga “ngeh” soal acara yang tengah berlangsung. Dari area parkir bisa kulihat show-area di lantai bawah Omah Panggung yang memang jadi ruang terbuka. Posisinya yang menjorok ke bawah alias lebih rendah dibanding badan jalan membuat orang lewat pun bisa melongok dan tahu apa yang tengah berlangsung di bangunan kayu bertingkat dua. Maka tak heran jika beberapa orang  seperti sengaja memilih nongkrong membelakangi jalan aspal menghadap titik fokus pertunjukan malam itu.

Nah, setelah say hello sama Udin dan istri yang memilih nonton dari “atas”, saya ke bawah, muter bentar untuk menuju pintu masuk. Di meja yang dijaga mbak-mbak cantik saya dapet selembar katalog yang lumayan informatif. Kursi sudah penuh terisi, jadi saya duduk di sisi kiri undakan semen bersama entah siapa cowok yang sudah lebih dulu ada di sana. Saya membagi konsentrasi antara menikmati musik Giana dan membaca katalog dalam remang. Ugh ugh, kasihan ini mata :) tapi penasaran je!
  
Apa to KATARUNG itu? Baru saja bertanya dalam hati dan menyelesaikan membaca tentang makhluk apa si Katarung ini, mas emce Darmawan Budi Suseno melontarkan tanya serupa kepada audiencesembari bagi2 doorprize. Mas Wiwit yang ternyata duduk tak jauh dari saya langsung ngacung menjawab dengan jawaban tidak sama dengan yang tertulis di katalog, tapi toh tetap dapet hadiah CD, hehe!

Kalau versi katalog nih ya… “Katarung” adalah dua frasa, antara “Kata” dan “Tarung” yang dapat bermakna: “Kata” adalah syair dalam sebuah lagu yang terungkap dalam karya, dan “Tarung” adalah sebuah ruang pergesekan dan dialektika kreatifitas kompetitif yang asyik, nyedhulur (istilah Jogja) sekaligus menjadi wadah untuk saling menjujung harkat, martabat, dan harga diri kemanusiaan manusia melalui bahasa universal musik dalam rasa dan cinta.

Ada lagi makna kedua (masih nyontek katalog nih). ‘Katarung’ juga dapat dimaknai sebagai simbol geliat kemapanan kreatifitas, kemapanan musikalitas, dan setumpuk dialetikanya, hingga kemapanan sosial yang semu. Fatamorgana kebudayaan yang bersifat massif dan terjebak ke dalam sebuah arus besar kebudayaan dunia yang rapuh, keropos dan tak mengakar ke bumi manusia.

Ya, ya, sepakat. Saya yang selama ini lebih akrab dengan musik-musik mainstream atau musik industri karena pernah memiliki cinta dan hasrat melimpah ruah ketika kerja di radio yang notabene menu utamanya adalah lagu, saat ini bersiap menyimak sesuatu yang belum akrab. Untungnya saya jatuh cinta sama intrumen gitar, jadi bisa sangat menikmati sajian malam itu dengan delapan soloist yang sudah beken malang melintang di dunia musik gerilya (pinjem istilah mas Ary Juliyant). Urutan tampil diundi, maka selepas Giana Sudaryono berturut-turut hadir  Egy Fedly, Y. Kubro, Doni Suwung, Mukti-Mukti, Untung Basuki, Ary Juliyant dan dipungkasi oleh Krishna Encik. Semua diberi jatah sekitar 20 menit dan membawakan empat lagu andalan.

Walaupun sama-sama mengandalkan gitar sebagai instrumen utama, tapi para seniman ini punya kekhasan masing-masing. Giana spesial karena malam itu dia yang paling muda dan paling cantik. Egy Fedly membawakan lagunya yang digubah tahun 1987 dan pernah menang dalam ajang lomba hingga mewakili Indonesia untuk tampil di Bangkok, tapi karyanya gak pernah masuk studio rekaman karena dia keukeuh tak mau ditawar untuk menciptakan lagu cinta lelaki-perempuan. Nuansa yang diperoleh dari menyimak Fedly adalah suasana yang rada murung. Nah, akhirnya saya bisa berganti tempat duduk karena ada kursi di belakang kameramen yang ditinggalkan penghuninya. Mak clingkrik duduk dengan manis di sana, cethoooo banget bisa menatap sang artis yang lagi tampil.

Next, Y. Kubro membawa nuansa jadul 80an di beberapa lagu, jadi sedikit “lucu” dan memancing gelak. Itu lho, inget si Obbie Mesakh kan yang kadang lagu-lagunya ada diselipin ngomyang alias ngomong sendiri? (Hihi, sori ya mas yen dipadhakke Obbie Messakh, kok mesakke men, adoooooh padahal). Doni Suwung bercerita kisah saat mencipta lagu yang akan dibawakan. Menarik, karena sisi perjalanan lantas menerbangkan imajinasi saya tentang petualangan yang asik, dari mulai sebuah pulau terpencil di Sulawesi sana hingga Belgia ketika dia merasa rindu tanah air. Binar mata Doni hidup dan riang :)

Dari Doni beranjak ke Mukti-Mukti dari Bandung. Ahay, yang membedakan adalah gebugan pelan pada gitar yang menciptakan sebentuk beat asik menyihir badan otomatis sedikit goyang. Lantas tampil Untung Basuki yang rambutnya sudah memutih, senior banget…. Sempat 3 kali ganti gitar karena masalah teknis, tapi malah menambah gayeng suasana yang semakin larut (ehem, jatah jam malam untuk anak kos sudah kelewat). Gayeng tercipta karena audience di sana malam itu juga nimbrungclometan dengan guyonan nyedulur yang njogjani. Beberapa ibu sudah mengajak anaknya pulang.

Selanjutnya Ary Juliyant yang datang jauh-jauh dari Lombok tampil memikat dengan mengajak penonton ikut hadir dalam komposisi. Mulai dari ketika memainkan “Aku Tidak Tidur, Manis” sebuah musikalisasi puisi seorang teman yang bernama Kartawijaya yang dimulai dengan menggesek senar gitar di awal pertunjukan, disambung Lamunan Stasiun Tugu diawali tiupan dua seruling kecil mirip bel kereta, dan ditutup dengan riuh riang-nya Survival. Nice perform, komposisi-komposisinya kuping-genic dan menurutku sih bisa laku lho di industri musik mainstream. Tapi toh tetap, seperti rekan-rekan yang lain Juliyant memilih brand sebagai gerilyawan kesenian. Karena sudah lewat jam sebelas, begitu usai Juliyant beberapa orang pulang, mas emce meworo-woro supaya tetap tinggal hingga penyerahan bunga kepada semua artist yang tampil malam itu, demi sebuah kebersamaan. Karena acara ini terselenggara berkat gotong royong kerja bakti banyak pihak selain seniman-nya sendiri.

Krishna Encik dengan gaya rambut rasta-nya menutup gelaran dengan 4 (empat) lagu yang sepertinya sudah dihafalkan banyak teman-teman Folk Mataraman Institute (sebuah grup di fesbuk), salah satu yang kuingat adalah Ibuku Bumi, yang pernah menjadi musik latar liputan video wartawan senior Kompas.

Nice Show kubilang, aku pulang dan merasa beruntung karena keretaku belum berubah menjadi labu. Hampir midnitebow! Kalau KATARUNG part selanjutnya digelar kembali tentu saya mengagendakan betul untuk nonton. Menurutku durasi tampilnya kelamaan ya, sebagai sebuah pertunjukan utuh kurasa ada jeda-jeda yang menelusupkan sedikit rasa bosan karena “warna” lagu yang dibawakan sang seniman adalah warna serupa, jarang ada kejutan-kejutan yang menemani keseluruhan perjalanan. Jadi mungkin bisa disiasati dengan jatah waktu tampil yang lebih pendek untuk tiap-tiap seniman, 10-15 menitan gitu, lah. Kali delapan orang ada sekitar dua jam. Cukup untuk sebuah sajian bergizi dan menarik seperti malam itu. Bravo kantung-kantung budaya Jogja yang berhasil menggelar perhelatan kolaborasi sedemikian ciamik! Menjadi salah satu alasan mengapa saya begitu jatuh cinta pada Jogja :)