Rabu, 14 September 2011

NGAREWONG



SEMACAM IKHTISAR ALBUM KECIL ADEW HABTSA DAN KAPAK IBRAHIM “MERAYAKAN PERDAMAIAN”

"Dan saya minta kepada Tuan-tuan, janganlah hendaknya melihat kolonialisme dalam bentuk klasiknya saja, seperti yang kita di Indonesia dan saudara-saudara kita di berbagai wilayah Asia-Afrika mengenalnya. Kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektuil, penguasaan materiil yang nyata, dilakukan oleh sekumpulan kecil orang-orang asing yang tinggal di tengah rakyat...
Dimana, bilamana dan bagaimanapun ia muncul, kolonialisme adalah hal yang jahat, yang harus dilenyapkan dari muka bumi."
( Pidato Pembukaan Konperensi AA, 18 April 1955, di Gedung Merdeka )

Itulah petikan pidato Bung Karno mengawali album kecil Adew Habtsa&Kapak Ibrahim, bertajuk “Merayakan Perdamaian”, terdiri dari tujuh lagu dan tiga petikan pidato Bung Karno mewarnai album ini. Dan juga pembacaan puisi oleh Noel Saga, dua judul saja, “Kepada Cak Roes” dan “Istana Bogor”. Adapun petikan pidato yang kedua terpapar jelas pada bagian akhri lagu “Bandung” yang ingin menjelaskan bagaimana spirit Bandung belumlah mati dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa-bangsa kulit berwarna dari penjajahan. Jika memang seluruh bangsa-bangsa Asia Afrika bersatu. Wajar bila PM Nehru menyebut Bandung sebagai kota Asia Afrika. Inilah petikan pidato Bung Karno, ketika Indonesia merdeka masih dalam benak dan pengharapan Bung Karno,jauh sebelum tercetus adanya Konperensi Bandung, BungKarno sudah membuat tulisan, seperti petikannya berikut ini.

" Kalau Barong Liong Sai dari China bekerjasama dengan Sapi Nandi dari India, dengan Spinx dari Mesir dengan Buruk Merak dari Birma, dengan Gajah Putih dari Siam, dengan Ular Hidra dari Vietnam, dengan Harimau dari Filipina dan dengan Banteng dari Indonesia, maka pasti hancur lebur kolonialisme internasional..."
(petikan tulisan Bung Karno, tahun 1932/1933, di Penjara Suka Miskin)

Album musik ini tercipta begitu cepat, satu tahun lamanya, atas berkat rahmat Tuhan YME dan juga didorong oleh itikad yang penuh, dimulai dari pengumpulan materi lagu sampai masuk studio rekaman hingga peluncuran, semua lagu dan puisi terpantik dari buku karya Roeslan Abdulgani tentang latar belakang berlangsungnya Konperensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, buku tersebut berjudul The Bandung Connection, ditulis tahun 1980. Pendiskusian yang intens rupanya telah memberikan hasil untuk memberikan impresi dan catatan berarti pada acara yang bernama Tadarusan Buku “The Bandung Connection” sepanjang pertengahan 2010 sampai menjelang 2011 di Museum Konperensi Asia Afrika bersama komunitas Asian African Reading Club alias jemaat Al Asia Afrikaiyah.

Dari buku tersebut penulis Cak Roeslan seakan ingin menjelaskan pada sidang pembaca bahwa bersatunya bangsa-bangsa kulit berwarna menjadi kemestian untuk menggapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dalam kerangka memajukan perdamaian dan pergaulan internasional. Pada sisi yang lain,nilai dan semangat KAA telah mendorong Adew Habtsa untuk membuat syair atau puisi yang erat kaitannya dengan pemaknaan kembali spirit Bandung. Satu karya diantaranya adalah penguatan semangat hidup berdampingan dengan damai (peacepul co-existence) yang sebelumnya pada album ini diawali nukilan pidato Bung Karno pada saat pembukaan Konperensi Bandung 1955, judul lagu tersebut adalah "damai". Berikut petikan pidato
"Seperti perdamaian, kemerdekaan tidak dapat dibagi-bagi... Perdamaian perlu untuk kita, karena pecahnya pertempuran di bagian dunia kita yang kita tempati ini akan membahayakan kemerdekaan yang tak ternilai harganya...Tidak ada tugas yang lebih mendesak daripada memelihara perdamaian. Tanpa perdamaian kemerdekaan kita tak banyak faedahnya."

Tema-tema lain yang coba dikumpulkan di album ini masih mengacu pada nilai-nilai Konperensi Asia Afrika, yang memang takbisa dilepaskan juga dari pemikiran cemerlang Bung Karno ketika itu. Seperti judul lagu “Egaliter”, “Merdeka”,”Gotong-Royong”. Lirik lagu dan Puisi pada album ini ditulis oleh Adew Habtsa, yang juga membuat lagunya serta bermain gitar akustik, kemudian diperkuat Hendra Veejay pada Harmonika, gesekan Riksa Al Hasil pada Biola dan vocal latar, juga pembacaan puisi yang berjudul “Kepada Cak Roes" dan “Istana Bogor” oleh Noel Saga, sekaligus bernyanyi pada lagu “Pertemuan” sebuah lagu yang hendak menguatkan kerinduan pada guru-guru bangsa yang telah mengajarkan pada rakyat Indonesia tentang hidup yang senantiasa menjaga kerukunan dan ketentraman. Untuk rekaman di album ini dibuat secara digital berbentuk CD di B3ST MusicStudio, di daerah Ancol Timur-Bandung,dengan arahan yang apik dari Ario Pinecone, masuk studio mulai bulan Juni sampai pertengahan Agustus 2011.

Suasana museum tempat penulis lagu ini bergumul memberi nuansa tersendiri, bagaimana Museum harus digagas dengan apik, agar menjadi tempat belajar yang paling menyenangkan. Terlukis dalam lagu “Di Pojok Museum”,setidak-tidaknya ingin berbagi bahwa benda-benda koleksi itu memang mati tapi ia akan hidup bila seseorang mendekatinya dengan semangat belajar dan mencari ilmu. Ketahuilah kita membutuhhkan guru atau pemandu ilmu yang sampaikan pemahaman yang benar terhadap sejarah sebagai bahan kajian dan cerminan kehidupan di masa yang akan datang.

Yang takkalah menarik dari album ini tentu saja pembacaan pidato Bung Karno yang lugas, menggelegar dan berapi-api, dibacakan oleh seorang aktor-sutradara teater dari kota Bandung yakni Wawan Sofwan. Sebagaimana kita tahu teks pidato pembukaan Konperensi AA itu menggunakan bahasa Inggris, tentu saja setelah dialihbasakan oleh Cak Roes, karenanya kita bisa dengan mudah memahami isi dari pidato tersebut, kendati hanya kutipannya saja. Di samping itu kapasitas dan kapabilitas Wawan Sofwan dalam penguasaan materi dan penghayatan mendalam pada teks pidato takboleh diragukan lagi dan telah menjadi satu kekuatan yang memukau serta diharapkan bisa memberi efek yang cukup magis bagi para apresiator.

Sekali lagi, marilah merayakan perdamaian, sudah penat kita berselisih dan bersengketa terus menerus. Lagu dan musik hanyalah alat ikhtiar kita meraih perikehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Semoga lewat album ini kedamaian dan ketentraman tetap ada dan terjaga. Salam Asia Afrika,salam paling ceria paling merdeka, bismillah god speed!


Bandung, September 2011
Hermawan Wahyudin

Seni Egi diKebun Seni


" SENI EGI FEDLY DI KEBUN SENI " 1 th Kebun Seni dan 55 th Egi Fedly, akan dimeriahkan oleh pameran seni rupa, pertunjukan teater, pembacaan puisi, musik balada, tari, dll. Pengisi acara: Adew Habtsa, Agoes Omponk dan istrinya, Ary Piul Tretura, Asep Doel, Ferry Curtis, Ganjar Noor, Mukti Muktimukti Mimesissoul, Trisno Yuwono, Yasmin Hauzan Nararya, Laskar Panggung, Majelis Sastra, dan pembawa acara: Yusef Muldiyana Full. 28 September 2011, mulai pkl: 17:00, di Kebun Seni, jl. Tamansari No 6 Bandung.


BANDUNG DAN PEMUSIK BALADA

HEURIN KU LETAH
oleh Adew Habtsa pada 13 September 2011 jam 15:35



“Bagai jutaan serigala,menyerbu kota besar, tempat asal adalah neraka…” (SWAMI,1990)

Sontak saja jalanan macet, kota ini nyata sexy. Bagai perempuan atau lelaki sexy, semua orang ingin melihat, jikaperlu meraba-raba setiap lekuk tempat ini. Uang cukup di kantong Anda,terbelilah segalanya. Makanan bagus, minuman segarkan haus, pakaian halus,takhanya itu pemandangan dan hawa pun lumayan mulus, sebab angin agak segar boleh berhembus. Tiap pekan, bahkan tiap hari,ribuan bahkan jutaan orang mengerubungi kota nan sexy ini. Konon ada rumor, bahwa kota bandung berpopulasi 4 juta pada siang hari, namun ketika malam tiba, kota ini dihuni kurang lebih 2,5 juta penduduknya.

Betapa banyak kepentingan dari orang-orang yang berhamburan memenuhi setiap titik tertentu di kota ini, seperti ibukota lainnya di nusantara atau di belahan bumi lain, segala kepentingan bisa saja terjadi di kota ini. Entah kepentingan positif atau negatif, tergantung standar kebenaran yang diyakini masing-masing. Adalah terkena hukum nisbi alias relatif untuk menghadapkan satu obyek dan peristiwa tertentu, apakah memang obyek itu mengandung kepentingan atau tidak. Penting sepenting-pentingnya, beserta alasan yang menyertainya atau bahkan nihil sama sekali dari kepentingan tertentu.

Takbisa disangkal lagi, kita pun lelah menghadapi anekarupa kepentingan.Tuan dan nyonya punya kepentingan, begitupan jelata seperti kita, sekadar kepentingan untuk hidup layak dan seimbang terwujudkan pun, malah jadi terseok-seok. Tiba-tiba saja kita, terutama saya menjadi kebal atau tepatnya terbiasa dengan kondisi kota yang katanya Tuhan tersenyum saat penciptaan daerah nan asri ini, di bagian tertentu saja, untuk tidak mengatakan semuanya anggun, pada suasana saat ini. Anda pasti pernah melintas jalan Braga, sejarah mencatat jalan ini telah menjadi icon kebanggaan kota ini, hingga beberapa Negara di Afrika mengenal tempat ini, sampai-sampai mengambil pola bangunan yang nyaris mirip dengan jalan bergaya Eropa. Jalan Braga pada masa keemasannya adalah pusat kebudayaan, mempresentasikan Bandung selaku kota multietnis sekaligus multikultural pada masa kolonial Belanda. Takhanya melulu berdagang, namun ada misi lain yang ingin disampaikan diantara warga ketika itu.

Itulah barangkali kepentingan yang setidaknya hendak kita asongkan ke sidang pembaca bahwa nyata dan kentara kota ini begitu beragam dan berwarna ideologi hidup dan tingkah polah warganya. Segala warna kulit, bahasa, tradisi dan agama bertumbukan di tempat ini dan jalan Braga jika mengaca pada sejarah tampak memperlihatkan sisi yang bernuansa bangsa-bangsa di dunia, meski taksemuanya ada disini. Lebih jauh Bandung merupakan melting pot atas semua realitas sosial yang ada.

Semenjak dulu Bandung sudah terbiasa dengan kebhinekaan citarasa dan latarbelakang hidup seseorang, diantara warganya tersemat toleransi yang patut kita reguk kembali untuk didatangkan di hari-hari kita, saat ini, yang berat dan penuh tantangan. Dari sana pancarkan keguyuban dan kesetaraan. Dari tempat ini pula berbagai peristiwa politik dan kebudyaan yang tampilkan kebersamaan, kerjasama serta dilandasi niat yang baik untuk memajukan perdamaian dunia telah membahana. Dan mengapa hari ini tidak kita tiupkan lagi semangat nilai-nilai itu, dari hanya sekadar membawa kepentingan sesaat.

Pada panorama yang lain di kota ini, ada makhluk paling manis, paling jujur jua bersuara lantang, inilah dia pemusik balada. Musik balada dalam pengertiannya yang sederhana sebuah aliran musik yang menitikberatkan pada kekuatan lirik. Genre ini membiarkan katakata bercerita, bertema apapun, berkisah apasaja. Mengingat manusia adalah makhluk yang senang bercerita (Homo faboulan), sependiam apapun orang itu, pasti dia akan bercerita,hanya barangkali media ekpresinya saja yang berbeda-beda.

Pemusik balada sebut saja sosok homo faboulan, senang bercerita, bertutur lewat musik, dengan nada, dengan puisi, dengan narasi sederhana yang lebih pas dan diperkirakan mengena secara estetika dan kemerduan bunyi musik lainnya. Kemudian ia, mereka, komunitas ini terlahir dan besar di satu tempat tertentu,apatah lagi memang tumbuh besar di kota sebesar Bandung ini. Kota seribu taman katakanlah demikian menghadirkan kompleksitas persoalan kota. Dari kemacetan hingga penduduk yang membludak. Sebagaimana kota besar lainnya, persoalan ekonomi dan lapangan pekerjaan benar-benar menjanjikan di kota ini, bisa jadi inilah daya tarik sekaligus daya pesona, sehingga membuat orang-orang dari desa,atau kota-kota lainnya ingin bergegas mencecap gemerlap kota.

“Kota ini rumah yang pecah, tapi kita menyerah, untuk tetap betah dalam getah, gundah gelisah…” (Acep Iwan Saidi,2004)

Jika memang para pemusik balada ini memiliki komitmen sosial serta fokus interest terhadap realitas kota, bukan lantaran ia tinggal di kota, namun lebih dari itu, ada kepekaan nurani di atas rata-rata, tentu pemusik balada sudah membawa kepentingan yang luar biasa untuk ditawarkan pada khalayak banyak. Seperti halnya para penyair acapkali menangkap momen-momen puitik yang berseliweran di atas tanah kota, di jalan-jalan, di taman, di lampu-lampu jalan, pada ruas trotoar di bagian manapun, bahkan di tempat yang terduga sebelumnya, begitupun pemusik balada diharapkan mampu memotret fragmen kehidupan kota berbarengan dengan hiruk pikuk kota yang menyesakkan dada.

Berdasar pendapat sosiolog, kelompok tanpa konflik itu menandakan sakit. Artinya permasalahan yang mencuat di kota, biasanya bertali temali dengan pergerakan kelompok yang kerapkali menimbulkan gesekan, interaksi sosial memburuk, problematika kota pun takterhindari. Konflik dalam satu kawasan itu wajar, mengingat manusia membawa pelbagai macam kepentingan, asalkan bisa dicari solusi yang tepat dan akurat. Masalah kota ini sesungguhnya ‘proyek’ kita,untuk sama-sama dibenahi semampu yang kita bisa. Akhirnya kota Bandung ini takakan pernah habis oleh cerita dan dongeng dengan bermacam-macam tema dan topik pergulatan keruwetan hidup yang datang silih berganti.

Takpelak lagi, pemusik balada sebagai bagian yang takterpisahkan dari masyarakat kota, seyogianya membawa dua kesaksian yang semestinya dilakukan, yang pertama kesaksian dengan kata-kata, artinya membuat syair dan musik atas segala persoalan kota yang menggangu keharmonisan masyarakat, dan yang kedua melakukan kesaksian dengan perbuatan, bermakna urun rembug,berpartisipasi aktif melakukan perubahan dengan tindakan nyata selaras dengan kemampuan yang ada.

Kesaksian tersebut bermuara pada karya musik tertentu yang tentu saja berbasiskan nilai-nilai luhur dan sarat dengan pemuliaan martabat kemanusiaan. Mengapa harus berbasis nilai? Paling tidak kita sudah memotret kondisi perkotaan dengan nyanyian, maka agar karya tersebut berjiwa,takada pilihan kecuali dengan memasukkan unsur nilai-nila kehidupan yang universal, tanpa harus terbebani dengan bobot nilai tertentu. Takada salahnya barangkali seorang pemusik layaknya aktivis atau pekerja sosial lainnya perlu dibekali nilai-nilai luhur kemanusiaan bagi pertumbuhan peradaban manusia yang lebih mantap.

Syukur-syukur lewat lagu yang tercipta, melalui lirik yang tertulis, bersama irama yang membahana, ada yang mau membuka mata hatinya untuk lebih hirau pada kondisi kota dan segala tetekbengeknya, tidak lantas terjebak pada kepentingan-kepentingan temporer dan dangkal yang hanya untungkan segelintir orang saja. Dengan demikian bagian-bagian tertentu dari kota dibidik,individunya digugah, masyarakatnya digerakkan untuk kemajuan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Mari.

Bandung, September 2011

Adew Habtsa