Jumat, 12 November 2010

BALADA untuk BENCANA: CATATAN SUARA KEPEDULIAN LEWAT APRESIASI KARYA

Sebuah konser amal bertajuk Balada untuk Bencana digelar pada Rabu malam lalu (10/11) di Bumi Sangkuriang, jalan Kiputih 12 Bandung. Konser ini merupakan persembahan dan wujud kepedulian kepada korban bencana Merapi, Mentawai dan Wasior dari Bumi Sangkuriang Country and Ballad Community yang bekerjasama dengan Hotspot Art Production, BP Bumi Sangkuriang, Melinda Hospital, serta para musisi balada dan country di Bandung.
Konser amal ini tidak hanya sekedar bertujuan untuk mengumpulkan dana bagi para korban bencana, tapi juga keutuhan apresiasi musik dari musisi balada dan country tetap dihadirkan kepada hampir tiga ratus audience yang hadir malam itu. The Daltons Band, yang tampil sebagai band pembuka pertama dengan membawakan lagu Looking In The Eyes of Love milik Alison Krauss and Union Station, serta satu lagu karya The Daltons yang berjudul Mimpi yang Indah. Dengan tetap membawa sentuhan warna country khas The Daltons, salah satu band country yang juga sudah sangat dikenal di Bandung ini mampu menarik audience membuka konser dengan manis.
Sebagai penampil berikutnya, Tjermin yang mengenalkan diri sebagi pengusung aliran balada progresif juga membawakan dua lagu karya mereka, Merah DarahKu dan Kabari Aku. Berbeda dengan penampilan-penampilan sebelumnya, di konser amal malam itu Tjermin tampil dengan sentuhan aransemen sederhana lewat perpaduan suling sunda, gitar elektrik yang dipetik dan dimainkan dengan bow (alat penggesek biola).
Band yang tampil berikutnya adalah C’kroh, sebuah band country &ballad yang belum lama dibentuk dan dimotori Egi Fedly ini membawakan lagu Prahara Aceh, sebuah kejutan kemudian dihadirkan lewat kolaborasi bersama Mukti Mukti yang juga menjadi MC di acara tersebut. C’kroh tampil membawakan Doa untuk Indonesia, salah satu lagu milik Mukti Mukti yang malam itu sengaja diaransemen dengan warna musik reggae.
Sebagai pengisi acara utama pada konser Balada untuk Bencana, Ferry Curtis and Friends kemudian tampil membawakan sejumlah lagu yang berisi lirik yang begitu kuat dan sentuhan musik yang apik. Beberapa lagu Ferry Curtis yang dihadirkan malam itu antara lain Ilalang Terbakar, Perempuan Masa Lalu, Menggapai Matahari, Derap Langkah, Sahabat Cahaya, sebuah lagu baru berjudul Kisahmu, Kisahku, Kisah Kita dan Aga Kareba yang dijadikan lagu penutup. Di beberapa lagu Ferry Curtis &Friends juga tampil berkolaborasi dengan sentuhan biola dari Ary Tretura, tak heran kalau para mahasiswa Poltekes Angkatan Udara yang menjadi tamu undangan di acara tersebut dibuat semakin betah dan begitu menikmati acaranya, selain karena kemampuan entertain Ferry Curtis yang komunikatif kepada audience.
“Pagelaran musik semacam ini memang menjadi jadwal rutin Bumi Sangkuriang Country and Ballad Community setiap bulan. Sesuai namanya salah satu misi kita adalah mengajak teman-teman dari komunitas country dan balada untuk menjadikan ini sebagai ruang apresiasi karya dan membaurnya komunitas country dan balada, khusususnya di Bandung. Kebetulan di acara bulan ini kita membawa tema social event Balada untuk Bencana” ujar Egi Fedly sebagai koordinator acara sekaligus koordinator Bumi Sangkuriang Country and Ballad Community.
Lebih lanjut Egi juga memaparkan bahwa kegiatan Bumi Sangkuriang Country and Ballad Community ini setiap bulannya akan terus menghadirkan tema dan warna-warna berbeda yang diharapkan bisa diisi oleh musisi-musisi balada dan country. Kegiatan rutin ini juga digambarkan Egi sebagai media keprihatinan terhadap industri musik Indonesia yang sedang “sakit” dan nyaris tak memberi tempat untuk musik yang memang isinya menawarkan suatu cara pandang yang berbeda baik dari segi lirik dan musik seperti musik balada dan country.
Acara ini juga bisa disebut sebagai moment pertama yang menggabungkan musisi balada dan country di Bandung dalam satu ruang apresiasi. Hadirnya The Daltons Band bersama Mukti Mukti, Ferry Curtis, Egi Fedly, dan Tjermin dalam satu moment memamg cukup menjadi catatan yang menarik. Tentunya moment seperti ini diharapkan bisa berulang dan terus berlanjut, bukan hanya lewat ruang yang disediakan oleh Country and Ballad Community tapi juga lewat ruang apresiasi dan acara lainnya
Dari acara yang berlangsung dari pukul 20.00-23.00 WIB tersebut berhasil terkumpul dana sebesar 5.549. 400 rupiah yang didapat dari kencleng yang diedarkan kepada seluruh audience, serta sumbangan langsung dari Poltekes Angkatan Udara. Dana yang terkumpul ini kemudian akan disalurkan melalui SoKa (Sokong Kawan), sebuah forum sosial yang sengaja dibentuk oleh musisi balada di Bandung. Sebelumnya juga SoKa telah menggalang dana lewat beberapa acara dengan menjual CD kompilasi balada, lelang ilustrasi pusisi, lukisan dan buku. (wai)

Kamis, 11 November 2010

Arti "World Music" bagi Bandung

Arti "World Music" bagi Bandung

by Herry Dim on Thursday, 11 November 2010 at 11:42
Catatan: Herry Dim
Jawa Barat dengan mengambil tempat di kota Bandung, tepatnya lagi di areal Monumen Juang (Monju), 19 – 20 November 2010 ini akan menyelenggarakan perhelatan besar bertajuk “Monju West Java World Music Festival” (MWJWMF), menurut rencana akan menampilkan Colin Bass (Inggris), Jeny Weisgerber (Jerman), Sarah & Meika Gomez Ttukunak (Spanyol), Kamal Musalam (Dubai), Ron Reeves/Warogus (Australia/Indonesia), serta sejumlah kelompok atau musisi tanah air.
Setelah adanya perhelatan “Bambu Nusantara 4 World Music Festival” Oktober 2010 dan Bandung World Jazz Festival 6 – 7 November 2010 yang cenderung bernuansa worldmusic pula, maka MWJWMF bisa dikatakan sebagai tanda berikutnya tentang begitu besar perhatian Jawa Barat atau pun kota Bandung terhadap genre worldmusic.
Besarnya antusiasme kalangan musik Bandung terhadap worldmusic, kiranya memiliki alasan yang cukup jelas. Jauh sebelum lahirnya istilah world music adalah orkes Gentono di Gedung Merdeka, Bandung. Pertunjukan yang berlangsung tahun 1952, itu menampilkan simfoni gamelan yang menyajikan komposisi-komposisi dunia. Gentono, memang, kemudian mendapat kritik keras dari pasangan pengeritik musik, J. A. Dungga dan L. Manik, tulisannya diterbitkan dalam bentuk antologi berjudul “Musik di Indonesia dan Beberapa Persoalannya” oleh Balai Pustaka pada tahun 1952.
Tulisan J. A. Dungga dan L. Manik tersebut di kemudian hari dianggap skeptik dan arogan, demikian setidaknya menurut Alif Danya Munsyi (nama alias dari Japi Tambayong). Di dalam sebuah risalahnya, Alif Danya Munsyi memetik salah satu bagian tulisan J.A. Dungga dan L. Manik yang dianggap skeptik tersebut sebagai berikut: “…kita katakan Gentono dilihat dari sudut kerja seni, sangat rapuh… Dan di sini terletak suatu kepincangan dari Gentono, jadi Gentono yang memakai alat-alat gamelan yang katanya sudah dipermodern itu, dan bukan gamelan itu sendiri… Umumnya kita sudah tahu bahwa gamelan tak membikin perubahan apa-apa sejak berabad-abad lamanya sehingga keadaan dan kedudukannya masih dalam status sederhana alias primitif, yang menghasilkan musik primitif pula.”
Tak Berpandangan Jauh
Jika melihat perkembangannya kemudian, pandangan Alif Danya Munsyi memang cukup beralasan. Pasangan J.A. Dungga dan L. Manik,bahkan menjadi kelihatan tak berpandangan jauh mengingat bahwa Debussy seusai menyaksikan sajian gamelan pada Exposition Universelle di Paris 1889, kemudian membuat komposisi dengan skala pentatonik. Dua puluh tahun setelah turunnya tulisan J.A. Dungga dan L. Manik munculah pula Harry Roesli dengan sudut pandang yang sama sekali berseberangan. Sekira tahun 1971-73an Harry Roesli mulai membuat proyek “Titik Api,” sebuah upaya kreatif yang menggabungkan gamelan (degung) dengan musik funky dan rock. Hasil kreasi Harry Roesli dan kawan-kawan diproduksi dalam bentuk kaset oleh majalah musik “Aktuil” pada tahun 1976. Peluncuran kaset “Titik Api” ditandai dengan sebuah diskusi musik di Gelanggang Generasi Muda – Bandung, tampak hadir di sana sebagai pembicara adalah Harry Roesli, Remy Sylado, dan (jika tak salah) Nano S. Salah satu pernyataan Harry Roesli yang terasa penting kita ungkap kembali di sini adalah “bagi saya gamelan itu tak lain sebagai alat seperti halnya gitar, piano, atau alat musik lainnya… sebagai alat (musik) maka sesungguhnya gamelan itu bisa digunakan untuk memainkan apapun, bisa dimainkan untuk Kebo Jiro atau pun rock ‘n roll.”
Berdasar satu kejadian “Gentono” dan satu pemikiran “Titik Api” Harry Roesli, rasanya itulah awal mula kesadaran yang kemudian terjadi di mana-mana hingga menemukan terminologinya yang disebut world music. Pelaku Gentono atau pun Harry Roesli, ketika itu, tentu saja tidak/belum mengatakan musiknya dengan istilah worldmusic, namun urat nadi pikirannya jelas sekali mengarah ke arah tersebut, yaitu semacam upaya menempatkan kesetaraan alat atau pun musikalitas di dalam suatu wujud musik baru.
World music dalam kategori umum memang diartikan sebagai musik global, termasuk ke dalamnya adalah musik tradisional atau musik rakyat (folk music) dari suatu kebudayaan sehingga berkait atau mencerminkan musik di suatu wilayah dengan ciri kedaerahannya, dan kemudian oleh sebuah kenyataan serta pola pergaulan baru (global) maka memungkinkan musik tradisi tersebut mengalami kesetaraan serta bersinggungan dengan tradisi-tradisi di luar dirinya.
Terminologi
Wacana yang kemudian menjadi world music kali pertama dikemukakan pada tahun 1960an oleh Robert E. Brown, etnomusikolog dari Universitas Wesleyan, Connecticut, AS. Saat itu, seperti juga terjadi pada Harry Roesli, baru muncul semacam gambaran umum dan/atau belum sampai kepada formulasi sebutan atau pun pengistilahnya. Semasa proses menempuh pendidikan, Brown mengundang lebih dari 12 penampil tamu yang berasal dari Afrika dan Asia, dan saat itu mulailah pula terjadinya sejumlah konser yang nantinya disebut world music. Sebagai terminologi, Brown mulai memperkenalkannya pada 1980an sehubungan dengan kebutuhan pengklasifikasian hingga tuntutan pasar industri musik bagi jenis musik ini, yang semula dikelompokan sebagai ragam musik non-Barat.
Di tanah air kita sendiri, hingga menjelang tahun 1980an telah bermunculan kecenderungan-kecenderungan lain seperti halnya yang terjadi pada Leo Kristi yang berlandas pada musik troubadour tapi juga mengakrabi musik-musik rakyat yang bahkan dari pedesaan kampung halaman kita; bisa diperhatikan pula sejumlah cara kerja (workshop) yang dilakukan oleh Sawung Jabo yang senantiasa mengaitkan diri dengan berbagai musik di berbagai pelosok; meski agak berbeda tapi tak bisa dilupakan bahwa pada tahun 1970an Slamet A. Syukur membuat komposisi angklung yang bahkan kemudian pada tahun 1975 mendapatkan penghargaan khusus dari forum musik kontemporer di Prancis; di Sumatra adalah pula Rizaldi Siagian yang rajin ke luar-masuk masyarakat pedalaman (antara lain Dayak Kalimantan) dan kemudian membuat komposisi-komposisi bersama masyarakat adat setempat; dalam jalur musik lain adalah usaha Guruh & Gypsi yang mencampurkan musik panggung hiburan dengan tradisi Bali. Pasca-1980an hingga kini, upaya melakukan ‘pergaulan baru’ di dalam konteks musik terasa kian bergairah. Adalah di antaranya upaya Hidayat Recording yang mempertemukan Bubi Chen (piano) dengan Mang Uking (kacapi dan suling). Lebih menggelegak lagi manakala musisi-musisi muda mulai bermunculan, kita lihat misalnya kemunculan Ade ‘Idea’ Rudiana, Ozenk Percussion, Krakatau Slendro Jazz Band, hingga kepada kecenderungan paling kini semacam Karinding Attack.
Pada percaturan global, diskusi-diskusi worldmusic pun kian hangat. Belakangan muncul pula sejumlah definisi tentang world music yang antara lain saling rujuk serta tak sedikit pula yang saling bertentangan. Satu di antaranya menyatakan worldmusic itu adalah "segenap musik apapun yang ada di dunia." Satu pihak lainnya merasakan terminologi tersebut sebagai terlalu meluas hingga kemudian justru menjadi tidak punya arti (meaningless). Ada juga yang mendefinisikan sebagai musik kombinasi antara gaya musik populer barat dengan salah satu atau lebih banyak genre musik non-barat yang termasuk ke dalamnya adalah musik rakyat (folk music) atau musik etnik. Namun bagaimanapun patut pula diakui bahwa world music itu sifatnya cenderung tidaklah eksklusif seperti halnya musik rakyat tradisional. Di dalamnya memang mereferensi bentuk-bentuk musik asali (indigenous) dari berebagai wilayah kebudayaan di dunia, tapi di dalamnya terdapat pula kecenderungan modern, serta terdapat pula potongan-potongan gaya musik pop.
Sementara bagi kita dengan mengingat peristiwa Orkes Gentono di Gedung Merdeka Bandung dan lahirnya “Titik Api” dari Harry Roesli, maka tak ragu lagi untuk mengatakan bahwa kota Bandung adalah bagian terpenting dari lahirnya genre musikal baru yang kemudian disebut worldmusic. Bersama itu semua tak pula bisa dilupakan bahwa kita pun sebelum dan di antaranya telah memiliki tradisi musik keroncong yang jelas merupakan genre musik dari hasil lintas-budaya (cross-cultures), seperti halnya juga tanjidor, hingga stamboel. ***
[Tulisan ini dimuat Harian Kompas Jabar, Rabu, 10 November 2010, Rubrik “Forum” hal D]