Kamis, 16 Juni 2011

SEHABIS ‘Another Taste’

SEHABIS ‘Another Taste’
Sehabis Another Taste
Adew Habtsa

        Kadang uang takmenjadi penting. Apalagi penonton. Yang penting ada rasa yang berbeda. Muncul suasana yang lain. Bangkit selera yang juga beda. Lahir kebersamaan. Pertunjukan Country& Ballad Bumi Sangkuriang tempo hari tidak lagi di Ballroom, sesuatu telah terjadi di sana, mungkin akan ada perbaikan yang lebih menyenangkan dan memukau secara tempat. Pertemuan semalam berlangsung di Concordia Room, lebih syahdu ternyata, meski tempat takseluas yang biasa terjadi, namun tertangkap kesan guyub, akrab, kursi rapi berjajar, dibungkus kain putih, cukup untuk beberapa orang saja. Bukankah jumlah manusia dalam perhelatan ini kadang tidak terlalu menjadi penting?

         Suara soundsystem bagus tertata, menggelegar, dibuat cocok untuk ruangan seperti ini. Tenang dan   lengang. Satu dua orang mulai memasuki ruangan. Lampu agak temaram, kondisi tata lampu yang seadanya saja, tapi asyik. Ada iringan lagu mengentara ke seantero ruangan, jelas, itulah suara anak negeri dendangkan kerinduan pada negeri yang sudah mestinya dirindui sekaligus dicintai, tak hanya itu musik pengantar yang lain dari suara berbahasa asing mulai hinggap di sebagian pengunjung. Termakan bengong, tersiksa rasa dingin, dan juga senyap, namun lagu itu telah merebut tenang. Taksabar ingin segera nikmati pertunjukan yang konon akan  tawarkan rasa yang berlainan.

        Setelah dirasa tepat dan waktu malah terus merambat, pembawa acara mulai berkata, bahwasanya sudah saatnya kebersamaan dalam gita, dalam cerita digelindingkan lagi. Lagu kebangsaan Indonesia menggema, hendak menusuk di dada kita dengan sedikit kebanggaan pada bangsa, Mukti-Mukti menjelma Pengarah Lagu. Hadirin turut bernyanyi, lantang, berharap tumbuh rasa cinta tanah air, mekar di dada. Berlanjut pada doa dan pengharapan, Sapei Rusin merupa Kyai atau seperti Pemuka Agama lainnya yang sedang menggiring jamaah ‘Kantriiyah dan Baladiyah’ untuk segera membaca diri, haturkan rekes, berpartisipasi galang kekhusyuan,membunuh sepi, mengusir rasa sakit, dan terapkan kesabaran pada setiap cobaan yang menerpa segenap saudara sebangsa jua kawan senasib.

        Sontak saja, kita semua didatangi rasa yang sudah kadung dijanjikan, entah rasa apa yang akan terpapar, lewat musik  dan lagu tentunya. Akan tetapi kita sedang menunggu, seperti  di sebuah stasiun, menunggu kendaraan. Makin taksabar untuk segera nikmati perjalanan. Empat nama kendaraan sudah tercantum. Mereka siap hidangkan panorama rasa, apakah akan bercerita lagi tentang kematian, sepaket dengan kehidupan beserta hiruk pikuknya. Tiba-tiba kita semua diboyong untuk masuk kendaraan tahun 60-an, sebut saja kendaraan itu bernama Ranha&The Siberian Husky, meliputi lima pria dewasa dan matang. Sepintas tampilan mereka seperti pejabat, taknyana bermain dengan skill hebat. Perjalanan kendaraan melaju kencang, menghentak, nada meninggi, betapa tidak, The Beatles dengan sederet tembang hitsnya telah menggoyangkan sekujur tubuh. Sebagian bergerak,vsebagian bergoyang dan bernyanyi semampu yang kita hafal. The Beatles memang sudah beres berkarya, tinggal kita sedang menunggu giliran berkarya selanjutnya.

         Di halte itu kita berhenti, rasanya kendaraan harus berganti, ada penampilan lain, katakan saja kendaraan itu bernama Dima Miranda, beliau hendak mengajak kita menikmati alunan ritmis nan puitis, ini bukan persoalan yang membawa kendaraannya adalah sosok perempuan, begitu lembut dan kadang merayu, suaranya memesona, panorama kepedihan hidup, rahim yang bicara serta sederet potret keprihatinan bangsa ini terekam dalam lagulagunya. Kita terbuai, semuanya barangkali. Semoga begitu kiranya makin tergugahkan dengan citarasa yang berbeda. Apalagi sisi kewanitaan muncul tentang rasa cinta pada lawan jenis jua apakah nanti rasa cinta itu akan berakhir di Pelaminan. Tanda tanya besar. Semua orang hampir gelisah memang untuk memasuki eposide pelaminan, takterkecuali para penumpang yang duduk melulu sendirian di perjalanan malam itu. Alunan gitar barangkali takcukup, penumpang yang gelisah itu pun merasa terpanggil, tampillah Egi Fedly mainkan harmonika dan kahon, Aryi Piul Tretura gesekan biola, dan Ibrahim Adi Surya takmau ketinggalan memetik dawai gitarnya. Dan lagu-lagu sepertinya takmau berhenti, perjalanan mengasyikan dan menyenangkan, ada pemandangan yang berbeda dari sebelumnya, lebih kuat keindonesiaannya dan kuat pula keutuhan karya Dima Miranda.

          Di persimpangan, perlu juga rehat, sesaat saja, kendaraan berganti, pengendara itu bernama Rull Darwis dan The Undercover , namanya kebarat-baratan tapi bukan produk barat, biar go internasional harapannya mungkin, lelaki yang sudah cukup umur ini berasal dan berdomisili kini di Depok sengaja mendatangi pertemuan ini untuk sumbangkan suara permatanya, dan lirik lagunya yang juga go internasional, seperti hendak berkata kepada dunia tentang perkara negeri ini yang -membutuhkan perdamaian, kedamaian dan hal-hal lain yang melingkupi rasa damai. Hanya menyebut satu judul saja,lagu lalu dimainkannya. Petikan gitar hadirkan juga panorama yang berbeda, tampak natural, meski bahasa ini makin asing saja di telinga. Namun kita menangkap rasa prihatin atas apapun yang digelisahkannya tentang kehidupan serta apasaja yang menyertainya, karena bahasa dan musik sudah menjadi rasa yang teramat global ataupun universal. Takketinggalan Asep Doel tampil berharmonika masih dengan topi laken, jaket kameumeutnya, makin cowboy saja. Temani Rull Darwis yang mengiris batin kita dengan komposisi paling apik. Sekali lagi, ada rasa yang berbeda akhirnya.

         Tampaknya kita sudah mendekati akhir perjalanan, malam makin malam, berita akan terjadi gerhana bulan membahana, satu peristiwa alam yang lumrah terjadi. Tanda kekuasaan Tuhan Yang Mahagagah dan juga Mahapuitis. Perjalanan makin berisi saja, sebab kotak kencleng harus diedarkan,walau uang bukan segalanya, tetapi kadang tanpa uang tidak jadi segalanya. Tidakkah sebelum perjalanan ini dimulai, nasi goreng dan kopi telah penuhi lambung kita,nikmat dan segar, cukuplah bagi kita biar tegak segala tubuh, segala nyanyian dan semua tarian.

         Di ujung perjalanan, hadirlah Red Peanut, menyajikan tembang rock lawas, era 70-an,80-an dan 90-an, lewat The Roling Stones, Deep Purple, Bon Jovi,dan yang serupa dengan itu, mereka menyegarkan kembali suasana, menghentak kesyahduan momen sebelumnya, kita dihisap gegap gempita, kembali berjingkrak, atau mencoba hadirkan gaya baru tarian yang biasanya dikomandoi Ari Piul Tretura, bagaiman tidak akan menarik kita, penampilan grup ini telah menyihir orang untuk bergoyang, dimulai dari penampilan vokalisnya yang bersuara prima, gitarisnya yang atraktif dan eksentrik, meski memang telah datang pula penggebuk drum dadakan,inilah Dony Dombis, karena satu dan lain hal Drummer grup The Red Peanut berhalangan hadir.

         Yang takkalah seru dan memukau adalah ternyata The Red Peanut membawakan single album mereka karya dari Musisi kebanggaan kita, Mukti-Mukti, yang berjudul ‘Mencari matahari’, dengan aransemen  yang energik dan variatif, lebih cadas, semacam slow rock dengan nuansa sound rock 80-an, barangkali mereka terpengaruh oleh grup seperti itu,  hingga nampaklah perpaduan yang apik dan ciamik antara lirik lagu balada yang sarat makna dengan besutan komposisi lagu yang keras dan lugas. Patut kita apresiasi dengan baik, mengingat lirik lagu yang muncul di blantika musik pop-rock hari ini cenderung dangkal dan kurang mengarah pada substansi persoalan hidup yang sudah semestinya saling mengingatkan untuk tumbuhnya kesadaran berjuang, memperbaiki nasib diri.

           Sesampainya di perjalanan, bubarlah orang-orang, menuju rumahnya masing-masing, berharap membawa oleh-oleh, baik itu berupa tanya yang membuat kita makin kritis pada keadaan  sekitar maupun rasa yang wajib dipupuk untuk lebih berempati dan peduli, di samping kegembiraan hati dan bertambahnya skill bermusik kita.

Bandung, 16 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar