Sabtu, 03 Desember 2011

BALADA PALING SEMBADA











Blantika musik Indonesia dewasa ini begitu sama dan beragam. Dari judul lagu hingga jenis musik masih  begitu saja. Paling tidak itulah kecenderungan selera musik yang lagi terjadi belakangan ini. Konon, untuk mengetahui hal apa yang terjadi pada masyarakat, maka sebuah lagu bisa jadi cerminan. Kalau saja sebuah lagu menceritakan tentang perselingkuhan, maka secara otomatis juga memang selera masyarakat seperti itu dan fenomena perselingkuhan pun memang sedang merebak. Berbeda halnya dengan music balada yang lebih menitikberatkan pada kekuatan lirik, sehingga musik dijadikan alat untuk menyampaikan sebuah gagasan. Lebih lanjut pada genre ini, seorang musisi bisa menawarkan perkara yang belum tergapai pada jenis musik lainnya untuk menciptakan perikehidupan yang lebih baik.

Demikian salah satu cetusan pemikiran  Herry Dim yang mengawali diskusi pada perayaan Hari Musik Balada 28-29 November di Kampus Unpas Setiabudi. Sebuah perhelatan yang digagas komunitas musik balada Bandung dan juga jurusan Seni Musik Universitas Pasundan telah menggoreskan semangat baru untuk lebih menghargai musik dan lebih jauh menumbuhkan kecintaan pada negeri nusantara ini. Adalah konser gerilya Ary Juliyant di kampus Unpas pada awal November tahun ini menjadi pemantik untuk sama-sama merespon geliat musik balada pada khususnya di kota Bandung yang mulai merambah tidak di satu tempat khusus saja, melainkan mulai bergerak ke segala kantong-kantong kesenian lainnya, agar memang misi tertentu tersampaikan. Karena musik balada hendaknya milik segala umur dan segala lapisan.  Berkumpullah itikad dan semangat Mukti-Mukti, Budi Dalton dari kalangan akademisi Unpas beserta Ary Juliyant sehabis konser yang terbilang penuh kesahajaan ini, untuk menggelorakan betapa musik balada seyogianya menjadi bagian yang takbisa dipisahkan dari sejarah musik Indonesia. Kemudian tanggal 28-29 November dicanangkan setiap tahunnya akan menjadi hari musik balada.

Tak ayal lagi, salah satu harapan untuk tumbuhkembangnya musik balada sebagai lahan subur penyemaian kreativitas bermusik yang lebih kuat tuangkan gagasan dapat bermunculan di masyarakat kampus. Hal ini dipertegas kembali Herry Dim dalam paparan selanjutnya di diskusi 29 November saat itu, bahwasanya music balada akan berhadap-hadapan dengan industri musik yang cenderung kapitalistik dan lebih mementingkan selera pasar, sementara musik balada tergolong musik yang memfokuskan pada keberadaan kata-kata, cerita, tuturan dan kisahan yang memang dalam hal ini sang pemusik takbisa dicerabutkan dari tempat dimana ia berkegiatan lancarkan misinya, tentu saja hal ini membawa situasi diametral dengan musik pop masa kini yang terkesan glamour dan menghebohkan. Oleh sebab pada sisi lain ada juga rombongan musik yang takpeduli pada katakata,yang penting asyik saja dalam bermusik, kemudian disebut golongan fundamental.

Di samping itu musik pada aliran balada dijadikan latar, sehingga dalam tahap yang ekstrem, jikasaja sang pemusik balada takmembawa alat musik, bahkan takmemiliki alat musik layaknya pemusik lainnya yang begitu canggih, maka ia akan menggunakan apapun saja yang ada,bahkan walau hanya sekadar menepuk-nepuk dada, takjadi masalah, lalu ia pun bernyanyi tuturkan kisahnya. Pemusik balada tidak terpaku pada musiknya, ia bebas mengeksplorasi musiknya menjadi apa dengan segala variasinya. Sebab yang paling utama adalah terpaparnya ide gagasan yang acap mengganggu kenyamanan jiwa raganya. Singkat kata, pemusik balada adalah seseorang yang berbicara tentang apasaja,apapun,yang berkaitan dengan diri dan lingkungan dimana ia tinggal, tentang segala hal yang berseliweran di muka bumi ini. Dan musik diperuntukkan sebagai medium untuk lontarkan serbaserbi kegelisahannya.

Perupa yang lukisannya pernah dipamerkan di Gedung PBB, di Genewa-Swiss, kembali menandaskan bahwa pemusik balada adalah sosok yang antimedia. Artinya tidaksuka dengan hiruk pikuk ramainya berita selibritas, tingkah polah para pesohor atau bahkan masuk media mainstream, mengingat ada idealisme yang kadang berbenturan dengan pakem pakem tertentu pada salah satu media yang ada. Atau memang beberapa media khawatir akan dituai kritik, oleh karena taksesuai dengan parameter yang sebagaimana diharapakan media termaksud. Pemusik balada tentu saja orang yang kerap bergerak dari satu titik ke titik yang lainnya, dari satu tempat ke tempat lainnya, dendangkan jerit hati masyarakatnya. Ia pun menjelma suara zaman. Walau mungkin pada akhirnya ada juga pemusik balada yang sampai juga di perusahaan rekaman besar lalu masuk televisi, seperti Iwan Fals, Franky Sahilatua,Ebiet G Ade, dll, bersama euphoria dan karismanya masing-masing yang membahana sampai saat ini, namun pastinya dengan posisi tawar menawar yang pas, antara idealisme sang musisi dengan selera industri pasar pada zamannya masing-masing.

Dunia mengenal Bob Dylan, musisi balada asal Amerika Serikat yang juga telah memberi suara bagi perkembangan situasi sosial politik di negeri Paman Sam itu, terutama pada awal 1960-an tatkala Amerika harus memerangi Vietnam dan lalu melibatkan warganya untuk turun bermiliter, Dylan lewat lagunya hendak memprotes kondisi seperti ini, dan ia berusaha memberi saran, ketika kebuntuan melanda segala komponen bangsa dan kalangan di sana untuk lepas dari kemelut ini serta bisa lolos secepatnya. Syair Times They are a-changing karya Dylan menyihir orang orang untuk lebih menghargai kehidupan atau pada lagu Blowing in the wind, bagaimana sebuah lagu sedikit banyak sudah menenangkan orang untuk lebih bijak dalam menghadapi krisis perang yang terjadi saat itu. Lagi dan lagi kekuatan lirik sang musisi balada mampu menggiring orang pada kesadaran akan pentingnya eksistensi manusia untuk memanusiakan manusia lainnya.

Kekurangsukaan dengan media mainstream ini berdampak pada jalur distribusi musik balada melalui jalur independen,dimulai dari pemilihan lagu sampai pemasaran karya album, dilakukan sendiri, jalur sendiri, selebihnya memanfaatkan jejaring sosial dan media pertemanan lainnya. Seperti juga yang dilakukan para pemusik underground, para punker, yang juga lakukan usaha seperti itu  dan atau musisi rap, hip hop, blues, reggae yang berjuang dari pinggir, para pentolannya terus suarakan nasib bangsanya, jalan hidup kaumnya, sembari terus berkesenian,tak kenal lelah, hingga sekarang musik rap dan yang sejenisnya telah mendapat tempat di hati para penggemarnya di seluruh dunia.

Berbeda kondisinya tentu saja dengan industry musik berlabel besar, perusahaan rekaman yang juga besar, promosi besar-besaran, bahkan pertunjukan musik dengan sponsor luarbiasa, setiap pemusik atau kelompok musik dikungkung sisi bisnis yang menjanjikan, meski memang persaingan di industri musik saat ini begitu sengit dan berlomba-lomba, seolah tampilkan yang paling baik. Tiap jalur musik membawa kekhasan dan cita rasa tersendiri, menawarkan gaya hidup dan mode tersendiri, tinggal bagaimana kita menentukan pilihan dan melaksanakan pilihan itu. Bukankah seseorang memiliki kebebasan untuk memilih? Sepanjang pilihan itu membawa kebaikan, termasuk dalam bermusik.

Balada lahir untuk hadirkan situasi yang bersahaja, tanpa harus terbebani oleh pemikiran yang rumit. Boleh jadi temanya besar, gagasan yang dicuatkan begitu dahsyat,  namun pemusik ini akan memilih medium bahasa dan musik yang berpihak pada sidang pendengar yang lebih pas dan taksemestinya menganiaya para penikmat dan apresiator dengan turut menambah persoalan, syukur-syukur membawa solusi. Sambil terus mengasah kemampuan bermusik sampai musikalitas balada dapat disejajarkan dengan pegiat musik lainnya. Boleh jadi balada diproyeksikan untuk jadi perangsang supaya orang lebih memahami kondisi masyarakat yang terjadi, tidak terlena oleh situasi alam yang ada, sebagai rangsangan untuk peka dan peduli dengan sesama, siapa tahu ada guna dan manfaatnya, dari hanya sekadar bermain musik saja.

Bandung dan Pemusik Balada
Bandung dari dulu sampai sekarang masihlah menjadi gudang buat lahirnya para pemusik handal, atau bisa dikatakan Bandung adalah rahimnya para pemusik yang terus bergeliat, seiring dengan dinamika waktu yang terus berubah. Semua jenis musik bermunculan dari kota ini, dari musik rock sampai dangdut terus bertumbuhan. Tak terkecuali bagi perkembangan musik balada di kota penuh catatan perjuangan ini.

Pada awal 1970-an kita mengenal grup Bimbo, Iwan Abdulrachman,Dede Haris, yang kental sekali dengan warna music balada. Barangkali situasi musik ketika itu belum sedahsyat sekarang, konon, orang yang main musik, terutama bisa main gitar, sangatlah minim. Pengaruh dari music barat tak sederas sekarang ini, kendati memang pada akhrinya musik barat telah mewarnai blantika music saat itu.

Generasi selanjutnya berlahiranlah dari kota ini ialah Doel Soembang,kemudian Iwan Fals yang turut menimba kreativitas dari Dede Haris untuk bersiteguh pada jalur musik, hingga kini Iwan Fals tetaplah diperhitungkan sebagai musisi yang kuat pada kekuatan teks dan lirik yang memukau. Hal ini diperkuat oleh Ahda Imran, seorang Penyair dan Esai juga Kritikus seni yang sarat dengan pemikiran yang bernas untuk melihat satu obyek tertentu dari sudut pandang yang berbeda. Menurut Ahda Imran, untuk membedakan seorang musisi balada dengan yang lainnya adalah dari penggunaan syair atau lirik lagu yang dinyanyikan, terlepas dari bobot syair yang tercipta itu, yang jelas syair yang didendangkan berkutat pada tema kehidupan sehari-hari dengan pilihan kata yang juga sederhana namun penuh makna, walau kadang ada metafora yang berbeda dari kebanyakan. Hingga sampailah pada satu kesimpulan bahwa lagu menjadi representasi sebuah masyarakat. Dari tahun ke tahun selalu membawa trend musik, terutama dalam khazanah musik pop, yang kadang cenderung membawa kegempitaan sesaat saja, hanya pada waktu tertentu saja, apabila waktu bergerak, bergerak pula selera yang ada, dan citarasa masyarakat bergerak dan berubah-ubah.

Satu pertanyaan yang mencuat: mengapa kita tidak mencoba menciptakan selera yang tepat di masyarakat? sehingga syair dan lagu kita tidak melulu soal asmara, dijejali dukalara karena cinta yang bikin merana dan bukankah sudah saatnya kita tidak terpenjara oleh selera masyarakat yang kadang menjerumuskan dan mematikan akal sehat? Sepertinya mengasyikan bila kita tetap pada jalur yang sudah kita tapaki dengan seyakin-yakinnya, karena manfaat terasa, jalani dengan tulus dan penuh andil.

Pada masa berikutnya lahirlah di kota bandung ini, Ary Juliyant, Mukti-Mukti, Ferry Curtis, Egi Fedly, dengan latar belakang dan disiplin ilmu yang berbeda-beda juga fokus perhatian yang juga berbeda, namun tetap membawa nafas persaudaraan dan cinta. Kedua musisi ini membawa angin baru, kesegaran yang baru, untuk lebih mencintai dan menyayangi negeri ini dengan apa yang kita bisa. Ferry Curtis turut berbicara mengenai eksistensi musisi balada bahwasanya musisi balada hendaknya memiliki kecakapan yang lebih terutama  dalam pengetahuan sastrawi, sehingga lirik yang tercipta benar-benar berbobot.

Seperti ibu yang subur, kota ini pun melahirkan generasi selanjutnya, diantaranya Ganjar Noor,Deu Galih,Rizal Abdulhadi,Panji Sakti,takhanya itu ada juga hadir dalam format grup atau band, seperti Klopas,Tjermin,Kaiya,Mr. Sonjaya,CaturPilar dan masih banyak lagi yang lainnya tanpa bermaksud mengurangi eksistensi mereka dalam berkarya, yang pasti  mereka semua sudah menapaki jalur ini baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Lantas pada 29 November itu, dari jam 10 ke jam 10 malam, di sebuah aula yang ditata teramat sederhana dengan semangat gotongroyong, semuanya sudah tampil, menyoroti apa yang harus disoroti, membidik apa yang harus dibidik, semua sudah bekerja, semua sudah berekspresi melantukan kisah muram, dongeng yang sudah lama diperam, cerita-cerita negeri yang mau karam. Surat pernyataan komitmen penetapan hari balada sudah diproklamasikan kedua unsur yang makin hirau: Unpas dan Komunitas Balada Bandung. Lagu terus bertalutalu, nyanyi terus mencoba membunuh sunyi. Balada menggiring sembada. Semoga takada lagi yang terluka di dada. Selamat Hari Balada.
            
Adew Habtsa. Bandung,Desember 2011

1 komentar:

  1. Kira kira penyanyi siapa saja yang mempengaruhi perintis balada di Indonesia?

    BalasHapus